Rabu, 29 Februari 2012

HADITS-HADITS DLA'IF

Hadits-Hadits Dla'if (Syaikh al-Albany)
Mukaddimah Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya sehingga umat menjadi melek karenanya. Salah satu upaya yang patut diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu). Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah. Tentunya, setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh Syaikh al-Albany tersebut. Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya. Terlepas dari hal itu, setidaknya apa yang kami muat ini kiranya dapat menjadi bekal bagi para pembaca untuk lebih berhati-hati di dalam menjalankan agama dan barangkali juga bisa mengingatkan orang-orang yang belum mengetahuinya. Rasulullah SAW., bersabda, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (ghaib).” Semoga amal ibadah dan niat kita senantiasa kita lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridla-Nya dan bernilai ikhlash, amin. 1. HADITS I
الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama itu adalah akal, dan siapa yang tidak memiliki agama, maka berarti dia tidak berakal.” KUALITAS HADITS Kualitas hadits ini adalah BATHIL Takhrij Singkat Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam an-Nasa`iy di dalam kitab “al-Kuna” dan juga dikeluarkan darinya oleh ad-Dûlâby di dalam kitab “al-Kuna wa al-Asmâ`” dari Abu Malik, Bisyr bin Ghâlib bin Bisyr bin Ghâlib dari az-Zuhry dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ dengan tanpa dimulai dengan kalimat pertama di atas “ad-Dîn Huwa al-‘Aql” . Pendapat Para Ulama Hadits 1. Imam an-Nasa`iy, “Ini adalah hadits Bathil dan Munkar.” 2. Ibn Hajar (ketika mengomentari lebih kurang 30-an hadits tentang keutamaan akal yang dikeluarkan oleh al-Hârits bin Abi Usâmah di dalam musnadnya) berkata, “Semuanya Mawdlu’” 3. Ibn al-Qayyim, “Hadits-hadits tentang akal semuanya adalah dusta.” Komentar Syaikh al-Albany Alasan kelemahan hadits ini adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhûl (anonim) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdy dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby di dalam kitabnya Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd ar-Rijâl dan Ibn Hajar al-‘Asqalâny di dalam bukunya Lisân al-Mîzân. Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dla’if dan Mawdlu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “al-‘Aql wa Fadl-luhu” karya Abu Bakar bin Abu ad-Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi ad-Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zâhid al-Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.
HADITS KE-II
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah.” KUALITAS HADITS Kualitas hadits ini adalah BATHIL Takhrij Singkat Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarany di dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabiir (3:106:2- dalam transkrip azh-Zhaahiriyyah), al-Qudlaa’iy di dalam Musnad asy-Syihaab (43:2), Ibn Abi Haatim di dalam Tafsir Ibn Katsiir (II:414) dan al-Kawkab ad-Daraary (83:2:1) dari jalur Laits dari Thâwûs, dari Ibn ‘Abbas. Pendapat Para Ulama Hadits 1. al-Haafizh, Ibn Hajar berkata –ketika menyebutkan biografi Laits (salah seorang periwayat dari jalur hadits ini) di dalam bukunya Taqriib at-Tahdziib-, “Seorang yang Shaduuq, di akhir hayatnya banyak berubah (ngelantur) sehinggga tidak dapat membedakan haditsnya. Karena itu, dia ditinggal (tidak digubris perinwatannya).” 2. al-Haafizh al-‘Iraaqy di dalam bukunya Takhrîj al-Ihyaa` (takhrij hadits-hadits yang ada di dalam buku Ihyaa` ‘Uluum ad-Diin-red.,) pada jld.I, h.143, “Sanadnya Layyin.” 3. al-Haitsamy di dalam bukunya Majma’ az-Zawaa`id (I:134) juga mengaitkan cela/cacat hadits ini pada periwayat bernama Laits tersebut. Di antara Komentar Syaikh al-Albany Sanad hadits di atas lemah karena kapasitas seorang periwayatnya yang bernama Laits -bin Abi Sulaim-. Dia seorang yang lemah. Al-Haafizh bin Jarîr juga mengeluarkan hadits ini di dalam tafsirnya (20:92) dari jalur yang lain, dari Ibn ‘Abbas secara Mawquuf (alias perkataan tersebut berasal darinya). Nampaknya inilah yang benar sekalipun di dalam sanadnya tersebut terdapat seorang yang anonim. Imam Ahmad juga meriwayatkannya di dalam kitab az-Zuhd (h.159) dan ath-Thabarany di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dari Ibn Mas’ud secara Mawquuf dengan lafazh,
مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ الصَّلاَةُ بِاْلمَعْرُوْفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ اْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mengajaknya untuk berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari berbuat kemungkaran, niscaya ia hanya semakin membuatnya jauh.” Sanadnya Shahiih sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Haafizh al-‘Iraaqy sehingga kembali kepada status Mawquuf.
HADITS KE-III
“Berbincang-bincang di masjid akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana binatang-binatang ternak memakan rerumputan.” Kualitas Hadits Hadits ini Tidak ada asal (dasar)-nya. Takhrij Hadits Hadits ini diketengahkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyaa` ‘Uluumid Din (I/136). Kemudian, pentakhrij hadits kitab ini, al-Hafizh al-‘Iraqi berkata, “Aku tidak menemukan akar (dasar)-nya.” Hal ini juga dicatat al-Hafizh di dalam kitab Takhrij al-Kasysyaaf. ‘Abdul Wahhab bin Taqiyuddin as-Subki di dalam kitab Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah (IV/145147), “Aku tidak menemukan sanadnya.” Sedangkan teks yang masyhur dalam perbincangan orang-orang (dari mulut ke mulut) berbunyi, “Pembicaraan yang mubah (dibolehkan, bukan haram) di masjid akan memakan semua kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” padahal itu itu juga.
HADITS KE-IV
“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri.” Kualitas Hadits Hadits ini DHA’IF (LEMAH). Takhrij Hadits Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara Marfu’. Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat (III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts. Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts dari hadits Ibn Lahii’ah.” Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah, terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red), dari Anas secara marfu’. Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211); as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!” Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’ Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam ath-Thibb an-Nabawi (II:12), dari ‘Amr bin al-Hushain, dari Ibn ‘Ilaatsah, dari al-Awza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. ia periwayat hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan. Kualitas hadits ini adalah palsu. Lihat: silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah Wa al-Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, no.40, Jld.I, hal.114-red) Komentar Syaikh al-Albani Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Layts tersebut di mana hal itu menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya, tidak aneh sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan).!” Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi yang datang setelah mereka dan lebih diidentikkan dengan mereka yang pemahamannya, khususnya dari sisi ‘Aqidah bertolak belakang dengan Salaf, wallahu a’lam ).
HADITS KE V
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فيِ كُلَّ جُمُعَةٍ؛ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بِرًّا
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).” Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU) Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini dikeluarkan oleh ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (II:228), dari jalur Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara Marfu’. ‘Illat (Penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali. Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata, “Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim), Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat yang ditinggalkan (Matruk).” Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang Dla’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai pembohong. Imam Ahmad mengatakan, “Ia seorang pembohong, suka memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibn ‘Adi ‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah Idhthiraab (inkonsistensi dalam periwayatannya). Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu keduanya meninggal dunia, lantas ia (orang tersebut, sang anak-red) datang ke kuburannya setiap malam. Abu Hatim mengatakan, “Sanad hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar, sepertinya ia hadits MAWDHU’.”

HADITS KE VI
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ، فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ (يس)؛ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya setiap hari Jum’at, lalu membaca (surat Yaasiin) di sisi keduanya (di sisinya), niscaya diampuni baginya sebanyak bilangan setiap ayat atau huruf (yang dibacanya-red)” Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU) Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady (I:286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (II:344-345), Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (II:91) dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’. Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah Ibn al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’, bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).” ‘Illat (penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan ad-Daruquthni. Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid) sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan Mawdhu’ (palsu) tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan ‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam kajian ini) yang juga adalah hadits MAWDHU’ sehingga tidak layak menjadi Syahid. Ada dua alasan: Pertama, karena secara makna keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak. Kedua, seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’ ash-Shaghir bahwa Ibn al-Jawzi telah menilai hadits itu Mawdhu’ namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya Mawdhu’, bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun. Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca al-Qur’an di sisi kuburan tetapi kenyataannya di dalam sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan mengingat akhirat. Itu saja.! Dan seperti inilah amalan para ulama Salaf ash-Shalih. Jadi, membaca al-Qur’an di sisi kuburan itu adalah Bid’ah Makruuhah. Demikian seperti yang dinyatakan sejumlah ulama terdahulu seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat sebagaimana yang dimuat dalam kitab Syarh al-Ihya’ karya az-Zabidi (II:285). Di dalam bukunya ini, az-Zabidi mengatakan, “karena tidak ada as-Sunnah yang menyatakan seperti itu…” Selanjutnya az-Zabidi menyebutkan pendapat ulama yang lain, yang menyatakan tidak makruh seraya berargumentasi dengan riwayat yang dinisbatkan pada Ibn ‘Umar bahwa ia mewasiatkan agar dibacakan di atas kuburannya ketika akan dikuburkan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya. Tetapi Syaikh al-Albani mengomentari dengan mengatakan, “Atsar ini tidak sahih dinisbatkan kepadanya (Ibn ‘Umar). Kalau pun shahih, maka hanya menunjukkan pembacaannya ketika akan dikuburkan, bukan secara mutlak seperti yang nampak. Karena itu, wahai saudaraku, sesama Muslim! Berpeganglah dengan as-Sunnah, hindarilah bid’ah sekali pun dipandang baik oleh banyak orang sebab setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW.”

HADITS KE VII
إذا مات الرجل منكم فدفنتموه فليقم أحدكم عند رأسه، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيسمع، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيستوي قاعدا، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيقول، أرشدني، أرشدني، رحمك الله، فليقل، اذكر ما خرجت عليه من دار الدنيا، شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول له، ما نصنع عند رجل قد لقن حجته؟ فيكون الله حجيجهما دونه....
“Bila seorang laki-laki di antara kamu meninggal dunia, lalu kamu kuburkan ia, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di dekat kepalanya, lalu hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan mendengar. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan duduk lurus. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan mengatakan, ‘Berilah aku petunjuk, berilah aku petunjuk, semoga Allah merahmatimu.!’ Hendaklah ia mengatakan, ‘Ingatlah ucapan yang kamu bawa keluar dari dunia; persaksian bahwa tiada tuhan –yang berhak disembah- selain Allah semata, Yang tiada sekutu bagiNya dan bahwa Muhamad adalah hamba dan utusanNya, hari Kiamat pasti datang, tiada keraguan padanya dan Allah akan membangkitkan orang yang berada di dalam kubur. Sebab masing-masing dari Munkar dan Nakir memegang tangan temannya seraya berkata kepadanya, ‘Apa yang harus kami lakukan terhadap seorang laki-laki yang telah menalqinkan hujjahnya.? Maka Allah-lah yang akan memberikan hujjah kepada keduanya untuk membelanya.” KUALITAS HADITS Syaikh al-Albani RAH berkata, “MUNKAR (Bagian dari hadits Dha’if). Hadits ini dikeluarkan oleh al-Qadhi al-Khal’i dalam al-Fawa`id (2/55) dari Abu ad-Darda`, Hasyim bin Muhamad al-Anshari, ‘Utbah bin as-Sakan menceritakan kepada kami, dari Abu Zakaria, dari Jabir bin Sa’id al-Azdi, ia berkata, “Aku menemui Abu Umamah al-Bahili yang sedang sekarat, lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Sa’id! Bila aku meninggal nanti, maka perbuatlah untukku seperti yang diperintahkan Rasulullah saw bagaimana kita memperlakukan orang-orang mati di kalangan kita, sebab beliau bersabda, …(lalu ia menyebutkan teks hadits diatas).” Menurutku (Syaikh al-Albani-red), Sanad hadits ini Dha’if sekali!!?? Saya tidak mengenal seorang pun dari perawinya selain ‘Utbah bin as-Sakan. Ad-Daruquthni berkata, ‘Ia orang yang ditinggalkan haditsnya.’ Al-Baihaqi berkata, ‘Lemah, dinisbatkan kepadanya suka memalsukan hadits.’ Hadits ini juga dimuat oleh al-Haitsami (3/45) dari Sa’id bin Abdullah al-Azdi, ia berkata, ‘Aku menyaksikan Abu Umamah …(Teks hadits), lalu ia berkata, ‘Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir (al-Mu’jam al-Kabir-red) dan di dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak aku kenal.’ Menurutku (Syaikh al-Albani-red), Nama perawi dari Abu Umamah masih diperselisihkan. Di dalam riwayat al-Khal’i, bahwa ia adalah Jabir bin Sa’id al-Azdi, sedangkan dalam riwayat ath-Thabarani, ia adalah Sa’id bin Abdullah al-Azdi. Ini, Ibn Abi Hatim memuatnya (2/1/76) seraya berkata, ‘Sa’id al-Azdi’, tidak menisbatkan kepada ayahnya dan tidak pula menyinggung sisi Jarh (pencitraan buruk) dan Ta’dil (pencitraan baik). Ia termasuk kalangan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya (Majhulin). Karena itu, amat aneh ucapan yang dinyatakan al-Hafizh (Ibn Hajar-red) dalam at-Talkhish (5/243) setelah merujuknya kepada ath-Thabarani, ‘Sanadnya Shalih (layak), dan telah dikuatkan oleh adh-Dhiya` dalam kitab Ahkam-nya. Juga dikeluarkan oleh Abdul Aziz dalam asy-Syafi. Sedangkan perawi dari Abu Umamah adalah Sa’id al-Azdi. Ibn Hatim telah menulisnya dalam coretannya.!’ Bilamana di dalamnya terdapat perawi yang anonim seperti ini, maka bagaimana mungkin sanad ini menjadi layak dan kuat.? Bahkan bersama itu pula terdapat sejumlah periwayat lain yang sama-sama tidak diketahui identitasnya (majhulin) sebagaimana yang disiratkan dalam ucapan al-Haitsami di atas. Ini semua, bila tidak ada di dalam sanad ath-Thabarani itu Utbah bin as-Sakan yang tertuduh. Jika tidak, maka dari asalnya, semua sanadnya itu sudah gugur.! Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ (5/304) setelah dirujuk oleh ath-Thabarani, ‘Dan sanadnya Dha’if. Ibn ash-Shalah berkata, ‘Sanadnya tidak dapat tegak (dijadikan hujjah).’ Demikian pula, dilemahkan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ (4/420). Ibn al-Qayyim berkata dalam Zad al-Ma’ad (1/206), ‘Tidak shahih bila dinilai Marfu’.’ Ketahuilah, tidak ada riwayat pendukung untuk hadits ini. Semua apa yang dikatakan sebagian ulama hanya berupa Atsar Mauquf (hadits yang diriwayatkan sebatas para Tabi’in-red) yang diriwayatkan dari kalangan Tabi’in kawasan Syam, yang tidak layak untuk dijadikan pendukung sehingga dapat menjadi Marfu’ bahkan ia tambah menjadikan riwayat itu cacat! Turun dari Marfu’ kepada Mauquf. Dalam ucapan Ibn al-Qayyim tadi, terdapat isyarat terhadap apa yang kami sebutkan setelah dilakukan perenungan. Yakni, ia menjadi Syahid Qashir (pendukung yang terbatas), sebab intinya berupa, ‘Mereka dulu menganjurkan agar diucapkan kepada mayyit ketika dikuburkan, ‘Hai Fulan, katakanlah ‘La Ilaha Illallah, katakanlah ‘Asyhadu An La Ilaha Illallah, sebanyak tiga kali. Katakanlah, Rabbku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad.’ Kalau begitu, mana yang dapat dijadikan pendukung terhadap sisa kalimat yang tersebut dalam redaksi hadits di atas, seperti ‘Ibn Fulanah’ ‘Berilah aku petunjuk’, dst.’ Juga perkataan kedua malaikat, ‘Apa yang dapat kita lakukan di sisi laki-laki…?’ Ringkasnya, hadits ini adalah Hadits MUNKAR menurutku, jika bukan MAUDHU’ (PALSU). Ash-Shan’ani dalam Subulussalam (II:161) mengatakan, ‘Dari perkataan ulama tahqiq didapatkan bahwa ia adalah hadits DHA’IF, mengamalkannya adalah Bid’ah. Dan janganlah tergiur dengan banyaknya orang yang melakukannya.!!’ Hal ini tidak pula berarti menolak ucapan yang masyhur di kalangan ulama mengenai pengamalan terhadap hadits dha’if dalam Fadha`il al-A’mal (amalan-amalan ekstra) sebab ini diposisikan pada amalan yang pensyari’atannya memang valid berdasarkan al-Qur’an atau as-Sunnah yang shahih. Sedangkan yang bukan kategori demikian, maka tidak boleh mengamalkan hadits dha’if, sebab itu artinya melakukan tasyri’ (pensyari’atan) dan hal ini tidak boleh dengan hadits dha’if, sebab ia tidak menginformasikan selain dugaan minus menurut kesepakatan para ulama. Nah, bagaimana boleh mengamalkan sepertinya.? Maka, kiranya orang yang menginginkan agamanya selamat dapat memperhatikan hal ini sebab banyak orang yang lalai darinya. Kita memohon kepada Allah hidayah dan taufiqNya.”

HADITS KE VIII

إَذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ اْلعَمَى

[Jika salah seorang di antara kamu menyetubuhi isteri atau budaknya, maka janganlah ia memandang/melihat farji (kemaluan)-nya, sebab hal itu dapat menyebabkan kebutaan] KUALITAS HADITS Ini adalah hadits MAUDHU’ (PALSU), dikeluarkan oleh Ibn al-Jauzi di dalam al-Maudhu’at (II/1), dari Hisyam bin Khalid, (ia berkata) Baqiyyah menceritakan kepada kami, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibn ‘Abbas secara Marfu’. Kemudian Ibn al-Jauzi berkata, “Ibn Hibban mengatakan, ‘Baqiyyah meriwayatkan dari para pendusta dan memanipulasi… Ini adalah Maudhu’.” Dalam hal ini, setelah menyebutkan ‘illat-‘illat (cacat- cacat) sisi periwayatan hadits ini, mengomentari pendapat Ibn ash-Shalah yang memandang sanadnya baik, Syaikh al-Albani mengatakan bahwa apa yang dikatakannya ini tidak tepat. Ibn ash-Shalah, menurut al-Albani, hanya terbuai dengan zhahir hadits sementara tidak memperhatikan ‘illat yang demikian detail yang diingatkan oleh Imam Abu Hatim. Syaikh al-Albani, di akhir komentarnya menyatakan bahwa melalu pengamatan yang benar, maka jelas sekali menunjukkan kebatilan hadits ini, sebab -kata beliau- pengharaman memandang/melihat dalam hal jima’ (bersetubuh) hanyalah dalam rangka pengharaman terhadap wasa’il (sarana-sarana)-nya. Bilamana Allah telah membolehkan bagi suami untuk menyetubuhi isterinya, maka apakah masuk akal Dia melarangnya (sang suami) memandang/melihat farjinya.?! Tentu saja tidak! Hal ini didukung oleh hadits shahih, di antaranya dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dalam satu bejana, antara diriku dan dia, lalu ia mendahuluiku (mengambil ciduk) hingga aku mengatakan, ‘biarkan aku! Biarkan aku!.’” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, serta perawi lainnya). Dalam hadits ini, yang nampak adalah bolehnya memandang/melihat. Hal ini juga didukung oleh riwayat Ibn Hibban, dari jalur Sulaiman bin Musa, bahwa ia ditanyai tentang seorang laki-laki (suami) yang melihat farji isterinya.? Maka ia berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha’, maka ia mengatakan, ‘aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, lalu ia menyebutkan hadits tadi.” Ibn Hajar dalam Fathul Bari (I/290) mengatakan, “(Hadits) ini merupakan Nash (teks) mengenai bolehnya suami melihat/memandang aurat isterinya, demikian pula sebaliknya.” Bilamana hal ini sudah jelas, maka tentu tidak ada gunanya perbedaan antara melihat ketika mandi atau pun sedang berjima’ (bersetubuh), sehingga terbukti sekali kebatilan hadits ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar