Selasa, 27 Maret 2012

HADITS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERJAGA KEMURNIANNYA

HADITS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERJAGA


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, dan memerintahkan manusia untuk menaati dan mencontoh perilaku beliau. Allah berfirman:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya". [al-Hasyr/59:7].

Untuk itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menunaikan semua tugasnya. Sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada ummatnya agar berpegang dengan peninggalan beliau, yaitu berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dua hal ini sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari Kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ

"Aku tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnahku". [HR al-Hakim, dan dishahïhkan Syaikh al-Albani dalam Shahïh al-Jami' ash-Shaghïr, no. 2937]

Dari sini jelaslah, bahwasanya hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari'at, baik dalam hal aqidah, hukum fikih, dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjadi sumber pedoman seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridha'an Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, dengan kedudukannya ini, maka hadits-hadits tersebut menjadi sumber dan asas syari'at yang kekal dan selalu terjaga keotentikannya.

Syaikh `Abdul-Muhsin al-'Abbad [1] berkata,"Sesungguhnya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam . Dia bersama Al-Qur'an yang mulia merupakan asas agama Islam dan menjadi sumber hukumnya. Keduanya saling berhubungan sebagaimana kaitan syahadat La ilaha illa Allah dengan syahadat Muhammad Rasulullah. Barang siapa yang tidak beriman kepada Sunnah, berarti tidak beriman kepada Al-Qur'an" [2].

Keterkaitan antara keduanya sebagai sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari'at, sebab as-Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur'an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya, as-Sunnah sabagai wujud dalam penerapan Al-Qur'an melalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firman-Nya:

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". [al-Qalam/68:4].

Demikianlah, ketika Ummul-Mukminin 'Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

"Akhlak beliau adalah Al-Qur'an". [HR Ahmad, no. 23460, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' ash-Shaghir, no 4811]

ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA MENJAGA SUNNAH RASULNYA
Eratnya hubungan Al-Qur'an dan as-Sunnah ini tidak dapat dipisahkan dalam memahami Islam secara benar dan dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ironisnya, kedudukan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh Islam berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan ada yang berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari Sunnah sebagai sumber hukum. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin keontetikannya, dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara Al-Qur'an. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". [Hijr/15:9].

Ayat mulia ini yang merupakan nash tentang penjagaan Al-Qur'an, di dalamnya juga terkandung maksud penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan". [an-Nahl/16:44]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia, Sehingga, jika penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Al-Qur'an tidak terjaga dan terpelihara (mahfuzh), tentunya tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan Al-Qur'an, padahal Allah berfirman:

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". [an-Najm/53:3-4] [3].

Dengan demikian, jelaslah bahwasanya janji Allah untuk memelihara adz-Dzikr tidak hanya terbatas pada Al-Qur'an saja, tetapi juga menjaga syari'at dan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan penjagaan bersifat lebih umum dari sekedar Al-Qur'an atau as-Sunnah saja [4]

Ibnu Hazm dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan, tidak ada perbedaan di kalngan para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari'at, bahwasanya semua wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah adz-Dzikrul-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pasti. Dan semua yang dijamin oleh Allah pemeliharaannya, maka ia terjaga, tidak akan hilang, dan tidak akan terubah sedikit pun, tanpa ada penjelasan tentang kebatilannya.

Kemudian beliau membantah yang menganggap pengertian adz-Dzikr dalam ayat di atas hanyalah Al-Qur'an saja.

Beliau berkata: "Anggapan ini adalah dusta yang tidak berdasarkan bukti, dan pengkhususan kata adz-Dzikr tanpa dalil. Kata adz-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah yang merupakan wahyu penjelas bagi Al-Qur'an. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan". [an-Nahl/16:44]

Dengan demikian, maka sungguh merupakan kebenaran bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia. Dalam Al-Qur'an banyak terdapat perintah yang mujmal (global), seperti shalat, zakat, haji, dan selainnya yang kita tidak mengetahui yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan dengan lafadz Al-Qur'an itu kecuali dengan penjelasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap yang global tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari Sunnah, maka manusia tidak dapat mengambil manfaat dari nash Al-Qur'an, lalu hilanglah banyak syari'at yang diwajibkan kepada kita, dan kita tidak mengetahui kebenaran yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki".[5]

Demikian juga pemeliharaan Al-Qur'an tidak sempurna, kecuali dengan menjaga dan memilihara Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu, karena makna kandungan Al-Qur'an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu Sunnah yang shahih, atau menyimpangkan dan menakwilkan keluar dari maksudnya, serta memahaminya diluar ketentuan syari'at, adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan Al-Qur'an".[6]

PENJAGAAN ALLAH TERHADAP SUNNAH
Jelaslah, seluruh yang disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang agama, semuanya ialah wahyu dan adz-Dzikr. Semua terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan dalam pemeliharaan Allah. Semua kandungan Al-Qur'an terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Demikian juga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan penjelas Al-Qur'an , pengkhusus lafazh-lafazh umumnya dan pembatas lafazh-lafazh mutlaknya, ia terjaga dan terpelihara.

Dapat disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan as-Sunnah tetap terpelihara dan terjaga.

1. Tha'ifah Al-Manshurah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari Kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

"Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran; orang-orang yang menghina mereka tidak merugikan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [HR Muslim no. 354]).

Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenangkannya, maka tentunya akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaful-ummah dan ulama muhadditsin pada setiap zaman dan tempat.

2. Perhatian Salafush-Shalih Terhadap Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyiapkan pembela Sunnah. Yaitu dengan menciptakan generasi Salafush-Shalih dan setelah mereka, yang telah memberikan perhatian besar kepada Sunnah. Perhatian Salaf umat ini terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada pada setiap zaman. Mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan, serta beragam sarana dalam memperhatikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam masalah ilmu maupun amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada manusia.

Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya dengan menghafal dan tatsabut (melakukan klarifikasi), sehingga salah seorang dari kalangan mereka bepergian hanya untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan. Yakni untuk mengecek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga, mereka menulisnya dalam lembaran shahifah, kemudian menyebarkannya di antara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiah.

Demikian pula para Tabi'in, mereka memberikan perhatian terhadap Sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk, di antaranya:
- perhatian dalam menghafalnya.
- bertanya tentang sanad.
- mencari pengetahuan mengenI keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal; hingga kemudian ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat Islam.
- tadwin (kodifikasi) Sunnah Rasulullah n yang dimulai dari lembaran shahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi [7], dan demikian juga orang-orang setelah mereka.

3. Ulama-Ulama Muhaditsin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan taufik kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, menyebarkannya, menuliskannya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna, tiada bandingannya terhadap Sunnah dalam sejarah dunia.

Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan, sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits, maka akan mereka jelaskan.

Ibnu Hiban dalam mensifati ulama muhadditsin, ia menyatakan, hingga jika salah seorang mereka ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah, tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya. Dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan.[8]

Manshur bin 'Ammar as-Sulami al-Khurasani dalam mensifati ahlu hadits menyatakan:
"Allah Subhanahu wa Ta'ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan Al-Qur'an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus".

Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid'ah orang-orang mulhid, dan kedustaan para pendusta.

Seandainya engkau melihat mereka, pada malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.

Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu.

Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.[9]

Demikianlah, mereka manjadi penjaga Sunnah Rasulullah n sepanjang masa.

4. Rihlah Fi Thalabi Al-Hadits
Di antara perhatian dan usaha para ulama dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan bepergian, melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits (rihlah fï thalabi al-hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan tingkat kesulitan sedemikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya. Demikian juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi secara sangat detail dan mendalam, sebab seorang muhaddits yang pergi ke suatu negeri lalu mengenal ulama di negeri itu, ia akan berbicara dan bertanya kepadanya. Demikian juga, rihlah telah dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat, sehingga umat terlepas dari musibah dan penyimpangan agama. Maka sangat pantas bila Ibrahimm bin A'dham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan rihlahnya ash-habul-hadits.[10]

5. Kaidah Ilmu Jarh Wa Ta'dil Dan Mushthalah.
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan kaidah ilmu musthalah dan ilmu al-jarh wa ta'dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini untuk memerangi bid'ah, dan untuk menjaga agama Islam ini dari para pendusta, serta dari penyimpangan dan penakwilan orang-orang jahil.

Imam al-Haakim di muqaddimah kitab Ma'rifat 'Ulumul-Hadits, ia menyatakan: "Sungguh, aku melihat bid'ah pada zaman kita ini telah banyak; dan pengetahuan manusia terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab ringan yang mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits."[11]

Demikian juga para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) untuk mengetahui kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi'in. Para ulama semakin memperluas metodologi ini, setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu "al-Jarh wa Ta'dil".[12]

Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat untuk memilah-milah di antara hadits-hadits yang shahih, yang lemah dan yang palsu. Ini semua merupakan wujud penjagaan Allah terhadap Sunnah.

Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Sunnah Rasul-Nya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji:
1. As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, Musthafa as-Siba'i, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1405 H, halaman 156.
2. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, Dr. al Murtadha az-Zein Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
3. Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, al-Hakim Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah an-Naisaburi, Tahqïq: Dr. as-Sayyid Mu'azhzham Husain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1397H.
4. Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, as-Suyuthi, Penerbit al-Jami'ah al-Islamiyah Madinah, Cetakan Kelima, Tahun 1415H.
5. Dirasat fi al-Jarh wa Ta'dil, Dr. Muhammad Dhiya`ur-Rahman al-A'zhami, Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, Madinah, Cetakan Keempat, Tahun 1419H.
6. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah, Cetakan Kedua, Tahun 1419H.
7. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Islamic Sceintific Research Academy, New Delhi, India, Cetakan Pertama, Tahun 1411 H, halaman 7-8.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Seorang ulama besar kota Madinah dan pengajar hadits di Masjid Nabawi hingga sekarang ini.
[2]. Lihat prakata beliau dalam kitab Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, hlm. 3.
[3]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 7-8.
[4]. As-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri' al-Islami, hlm. 156.
[5]. Pernyataan Ibnu Hazm ini dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri' al-Islami, hlm. 156-158.
[6]. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 8.
[7]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 38.
[8]. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, hlm. 7
[9]. Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wï'i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha'ifah, hlm. 6-7.
[10]. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 44 dan 50.
[11]. Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, hlm. 1.
[12]. Dirasat fï al-Jarh wa Ta'dil, hlm.
20

Sabtu, 24 Maret 2012

YANG MERUSAK KEISLAMAN SESEORANG

PERUSAK KEISLAMAN


Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang sangat berharga kepada umat ini. Diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh dengan membawa agama Islam merupakan nikmat agung. Allah Azza wa Jalla berfirman :

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orangorang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benarbenar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Oleh karena itu, kita wajib mensyukuri, menjaga dan memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dilindungi dari segala yang bisa merusak nikmat yang sangat berharga ini. Selama kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Azza wa Jalla, janganlah kita merasa bahwa nikmat ini (Islam) akan tetap ada dan terpelihara pada diri kita. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, meski beliau Alaihissallam telah menghancurkan berhala yang disembah oleh kaumnya kala itu, beliau Alaihissallam tetap mengkhawatirkan diri beliau. Beliau Alaihissallam berdo’a :

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala [Ibrâhîm/14:35]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita diberi ketetapan hati di atas nikmat yang agung ini. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca doa :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُو بِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu

Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat kepedulian terhadap agama ini mengalami penurunan drastis. Sementara para penyeru kesesatan bebas berkeliaran untuk menjajakan kesesatan lewat berbagai media. Kesesatan-kesesatan yang mereka jajakan dibungkus dengan kulit indah mempesona. Sehingga tak mengherankan, karena ketidaktahuan, banyak orang yang silau dan menerima kesesatan ini sebagai sebuah kebenaran yang dijadikan sebagai pedoman. Akibatnya, yang benar dianggap suatu yang keliru dan sebaliknya, kekufuran dianggap sebuah kemajuan dan dielu-elukan. Na’udzubillâh. Nikmat Islam ini berangsur-angsur hilang dari seseorang, akhirnya dia murtad (keluar dari Islam) dan statusnya berubah menjadi kafir.

Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam) ini. Mereka telah menyusun kitab kitab untuk menjelaskan permasalahan ini. Mereka juga membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”. Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal ini.

Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Di antaranya, ada yang berbentuk perkataan, perbuatan, keyakinan dan keragu-raguan. Perkataan-perkataan yang dilontarkan seseorang terkadang bisa menyebabkan dia menjadi kafir ketika itu juga. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan seseorang atau keyakinan kuat dalam hati yang dipegangi dengan erat-erat ataupun keraguan-raguan yang dipendam dalam hatinya terkadang bisa menyeret seseorang ke lembah kekufuran. Na’ûdzubillâh.

MURTAD DENGAN SEBAB PERKATAAN
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Seseorang bisa murtad dengan sebab perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik serius, gurau atau bercanda. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam. [at-Taubah/9:74]

Tentang orang-orang yang mencela Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dengan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat orang-orang yang sama dengan para ahli baca kita (maksudnya Rasulullâh dan para Sahabat), ”Mereka ini ucapannya bohong, lebih memikirkan perut dan paling pengecut saat berjumpa musuh, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolokolok?” Kalian tidak usah minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]

Ketika tahu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima wahyu tentang ucapan mereka, mereka bergegas menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskannya dan meminta maaf. Namun Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bergeming.” Selanjutnya Syaikh Shalih Fauzân hafidzahullâh menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.” [1]

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan, “Allah Azza wa Jalla zhalim; Allah Azza wa Jalla bakhîl; Allah Azza wa Jalla faqîr; Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah, Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian masalah. [2]

Beliau rahimahullah juga memasukkan perkataan, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkan kita melakukan shalat.” dalam perkataan kufur. Beliau rahimahullah mengatakan, “Orang yang mengucapkan perkataan ini telah kafir, keluar dari agama Islam, berdasarkan ijmâ’. Kecuali jika dia memang tidak tahu dan bertempat tinggal di daerah terpencil, jauh dari kaum Muslimin. Orang seperti ini harus diajari. Jika setelah diajari, dia masih seperti itu, berarti dia kafir. Sedangkan jika orang yang mengucapkan itu, orang yang berdomisili di tengah kaum Muslimin serta memahami ajaran-ajaran agama, maka ini merupakan sebuah kemurtadan. Orang ini harus diminta supaya bertaubat. Jika dia bertaubat maka alhamdulillâh, namun jika tidak maka dia kenai hukuman mati.” [3]

Termasuk perkataan yang bisa menyebabkan kekufuran yaitu berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla, seperti ucapan, “Wahai Fulan! bantulah saya, selamatkanlah saya! Sembuhkanlah saya!” yang diarahkan kepada orang yang sudah meninggal atau kepada jin, setan atau kepada orang yang sedang tidak ada di lokasi permohonan. Ini termasuk ucapan kekufuran. [4]

Ucapan-ucapan kufur ini jika terpaksa diucapkan, misalnya diancam dibunuh atau akan disiksa jika tidak mengucapkannya, maka ketika itu si pengucap tidak dihukumi kafir, dengan syarat hatinya tetap teguh meyakini Islam. Sebagaimana kisah ‘Amâr bin Yâsir Radhiyallahu ‘anhu yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur setelah dipaksa oleh orang-orang kafir dengan berbagai siksa. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). [an-Naml/16:106]

MURTAD DENGAN SEBAB PERBUATAN
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kemurtadan yaitu :

a). Sengaja meninggalkan shalat meskipun dia tetap meyakini shalat itu wajib, menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat dalam masalah ini. Ini merupakan sebuah tindakan kemurtadan. Berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَ ةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Batas antara kita dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibnu Mâjah dengan sanad shahîh]

Juga Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ

Batas antara seseorang dengan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Imam Muslim dalam shahîh beliau rahimahullah]

b). Melecehkan al-Qur’ân dengan cara diduduki, dilumuri benda najis atau diinjak. Orang yang melakukan perbuatan ini telah murtad dari Islam.

c). Melakukan ibadah thawaf di kuburan (mengelilinginya-red) dengan tujuan mendekatkan diri atau menyembah penghuni kuburan. Sedangkan thawaf dikuburan dengan tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, maka ini termasuk perbuatan bid’ah yang bisa menggerogoti dien seseorang. Ini juga sebagai salah satu pintu kesyirikan. Hanya saja pelakunya tidak sampai murtad.

d). Menyembelih untuk selain Allah Azza wa Jalla, misalnya menyembelih binatang dengan tujuan beribadah kepada penghuni kubur; beribadah kepada jin dan lain sebagainya. Daging binatang yang disembelih itu hukum haram untuk dikonsumsi sedangkan orang yang melakukan ritual ini telah murtad, keluar dari Islam. [5]

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh menegaskan bahwa orang yang menyembelih untuk berhala, patung atau sujud kepadanya, maka dia telah menjadi musyrik , meskipun dia masih shalat,puasa dan haji. Karena keislaman telah batal dengan sebab perilaku syiriknya. Na’ûdzubillâh.[6]

MURTAD DENGAN SEBAB KEYAKINAN
Keyakinan dalam kalbu seseorang bisa menyebabkan dia selamat atau sebaliknya bisa membawa petaka yang tidak berkesudahan jika dia meninggal sebelum bertaubat. Meskipun keyakinan ini tidak terucap atau belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata. Di antara contoh keyakinan berbahaya ini adalah:

a). Berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla itu fakir, zhalim memiliki sifat buruk lainnya. Meskipun ini belum terucap, orang yang memendam keyakinan ini telah keluar dari Islam menurut ijmâ’ kaum Muslimin.

b). Berkeyakinan bahwa tidak ada hari kebangkitan setelah kematian atau berkeyakinan bahwa itu hanya ilusi yang tidak ada dalam alam nyata, tidak ada surga dan neraka.

c). Berkeyakinan bahwa Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jujur serta berkeyakinan bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan rasul terakhir. Keyakinan ini menyebabkan kekufuran meskipun orang yang meyakini hal ini tidak mengucapkannya.

d). Berkeyakinan bahwa berdoa atau beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla tidak apa-apa, seperti berdoa atau beribadah kepada para nabi, matahari, bintang-bintang atau lain sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang Hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, [al-Hajj/22:62]

Dan masih banyak dalil lain yang semakna. Jadi orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia telah kafir. Jika keyakinan ini diucapkan dengan lisannya berarti dia kafir dengan dua sebab yaitu ucapan dan keyakinan. Jika ada yang seperti itu lalu dia juga berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia kafir dengan tiga sebab sekaligus, ucapan, keyakinan dan perbuatan.

Termasuk dalam point ini, apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan saat ini di berbagai daerah. Mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau dianggap wali lalu mereka meminta tolong kepadanya. Orang yang melakukan seperti ini berarti dia telah kafir dengan tiga sebab yaitu keyakinan, perkataan dan perbuatan [7].

MURTAD DENGAN SEBAB RAGU
Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau meragukan keberadaan hari kebangkitan setelah kematian atau keberadaan surga dan neraka, maka orang ini telah kafir. Meskipun dia masih shalat, puasa atau melakukan berbagai amal kebaikan, selama hatinya masih menyimpan keragu-raguan maka dia tetap kafir. Namun, yang perlu kita ingat, bahwa kita sebagai manusia hanya bisa menghukumi secara zhahir saja [8].

Artinya, jika kita melihat seseorang yang secara zhahir dia melakukan shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya, maka kita menghukumi dia sebagai seorang Muslim dan kita perlakukan sebagai seorang Muslim. Jika dia meninggal kita shalatkan dan dimakamkan sebagaimana syari’at Islam. Sedangkan keyakinan yang tersembunyi dalam hatinya, yakinkah dia ataukah ragu, beriman ataukah kafir, hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.

Inilah empat hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad :
- Mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan karena terpaksa.
- Meyakini suatu yang kufur atau syirik.
- Melakukan perbuatan kufur atau syirik.
- Ragu terhadap kebenaran dien yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Sebagai seorang Muslim yang mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, maka seharusnya kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar jangan sampai keyakinan kita terhadap agama ini tidak terkikis sedikit demi sedikit akibat dari perbuatan kita sendiri, yang pada gilirannya nanti hilang. Na’ûdzubillâh.

Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala yang bisa merusak atau membatalkan keislaman kita. Amin

MARÂJI :
- Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdillâh bin Bâz, Cet. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah
- Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Cet. Ke-tiga, Maktabatur Rusyd

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 20-21
[2]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah, 8/15
[3]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah 8/15
[4]. Lihat Durûs Fî Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 21
[5]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/15-17
[6]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 24
[7]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/17-18
[8]. Lihat Durûs Fi Syarhu Nawâqidil Islâm, hlm.
24

Jumat, 23 Maret 2012

SYARAH HADITS JIBRIL TENTANG ISLAM, IMAN DAN IHSAN

SYARAH HADITS JIBRIL TENTANG ISLAM, IMAN DAN IHSAN


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)

URGENSI HADITS
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H) berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan semua amal ibadah yang zhahir maupun bathin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at, semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan pecahannya”.

Beliau melanjutkan: “Atas dasar hadits ini dan ketiga macamnya, aku menulis kitab yang aku namakan al Maqooshid al Hisaan fii ma Yalzamul Insaan. Karena tidak menyimpang dari yang wajib, sunnah, anjuran, peringatan, makruh dari ketiga macamnya. Wallahu a’lam. [Syarah Shahih Muslim I/158].

Imam Nawawi (wafat th. 676 H) berkata,”Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan pokok Islam, seperti yang kami riwayatkan dari Qadhi ‘Iyaadh. [Ibid. I/160].

Imam al Qurthubi (wafat th. 671 H) berkata,”Hadits ini layak disebut sebagai Ummus Sunnah (induk hadits), karena mengandung ilmu hadits.” [Fathul Baari I/125].

Ibnu Daqiq al ‘Id (wafat th. 702 H) berkata,”Hadits ini seakan menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana al Fatihah dinamakan Ummul Qur`an, karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada dalam al Qur`an.” [Syarah Arba’in an Nawawiyyah, hlm. 31, oleh Ibnu Daqiq al ‘Id].

Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) berkata,”Ini merupakan hadits yang agung, mencakup semua penjelasan agama. Karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di akhir hadits ‘ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kalian’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan iman, kedudukan ihsan. Dan menjadikan semua itu agama.” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam I/97].

RIWAYAT LENGKAP HADITS INI DALAM SHAHIH MUSLIM
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata: “Dahulu, yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani [2], maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al Himyari untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau kita bertemu salah seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat ‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke dalam masjid. Maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu dia menyebutkan perkara mereka- sesungguhnya ini adalah sesuatu yang baru.” Ibnu Umar berkata: “kalau engkau bertemu dengan mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dari aku. Demi Allah kalau seandainya salah seorang dari mereka infak sebesar gunung Uhud emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qodar. Kemudian dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab menceritakan kepadaku …….. lalu dia menyebutkan hadits di atas.”

Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebelum dibawakan hadits ini oleh Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman al Himyary, ada beberapa faedah yang bermanfaat, yaitu:

1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah pada masa sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.

2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap muslim untuk mengembalikan urusan agama mereka kepada para ulama. Firman Allah l :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.” [an Nahl:43]

3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin ‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.

Dari Yazid al Faqir dia berkata, “Saya pernah tertarik oleh suatu pendapat kaum khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang berjumlah banyak, karena kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah sedang membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada suatu kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata, “kemudian Jabir bin Abdillah menyebutkan penghuni-penghuni jahannam.” Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang engkau masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192) dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”

Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu mendengar tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau kehendaki.”

Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan bagaimana manusia melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada satu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka berada didalamnya. Yakni mereka keluar dengan jasad bagaikan biji kurma yang baru dijerang di matahari. Kemudian mereka masuk dalam salah satu telaga surga, kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.

Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah kalian menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat kebohongan terhadap Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi Allah tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali hanya seorang. Demikianlah sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Nu’aim”. Abu Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah seorang perawi hadits ini [Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]

Rombongan ini datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai pemahaman yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak keluar dari neraka. Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dikenakan kepada kaum Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman Khawarij.

Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk Allah, ia berkata “Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dikenakan kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari XII/282]

Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia dengan dua cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari keta’atan dihiasi dengan syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli ibadah, syetan menyesatkan mereka dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan) dan melemparkan syubhat kepada mereka. (syarah hadits jibril hal.12) Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak oleh fitnah syahwat dan fitnah syubhat.[3]
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.

KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :

1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]

2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.

3. Defenisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :

الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه

Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan, mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [5]

الإسلام والاستسلام , menurut bahasa artinya الإنقياد . Yaitu patuh dan tunduk. Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan memperlihatkan syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang dibenci.

Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu wassalam mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak. Yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan pada badan dan harta.

Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.

4. Definisi Iman [6].
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.

• Islam dan Iman.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.

Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam (pengertian)nya, dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang lain ketika berdiri sendiri. Apabila keduanya digabungkan, maka salah satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri sendiri. Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah, pembenaran hati disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal perbuatan.

• Merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwasanya amal termasuk ke dalam iman.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [7]

Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau n memasukkannya ke dalam iman.

• Di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].

Ibnu Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman secara bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah seorang mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi lebih sempurna’.

Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-, (maka) iman akan bertambah. Dan dengan berkurangnya pernyataan tersebut, maka iman pun berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan, maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan pertengahan dalam masalah iman”. [8]

• Keutamaan orang mukmin bertingkat-tingkat.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.

Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan, Iman itu bertambah dan berkurang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). [al Fath : 4]
.
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].

5. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.

• Iman tentang rububiyah Allah.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.

• Iman tentang uluhiyah Allah.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya "Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].

Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. [9]

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ

Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selainNya. [QS al A’raaf : 59 Lihat juga ayat 65, 73 dan 85].

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kepada syirkun akbar dan tidak diampuni dosanya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]

• Tauhid Asma` wa Shifat.
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj Salaf dan para imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa shifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan telah ditetapkan RasulNya untukNya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].

Lafazh ayat laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang serupa denganNya) merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhlukNya. Sedangkan lafazh ayat wahuwas samii’ul bashiir (dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.

I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas dua prinsip. Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. [10]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Beliau seorang perawi yang tsiqat (Taqribut Tahdziib : I/319 no.7706)
[2]. Ma’bad bin Khalid al Juhami, al Qadary, dikatakan juga Ibnu ‘Abdillah bin ‘Ukaim seorang Mubtadi’ (ahli bid’ah). Orang pertama yang berbicara untuk menolak qadar di Bashrah, wafat karena dibunuh th.80 H. (Taqribut Tahdziib : II/198 no.6801, Mizanul I’tidaal : IV/141 no.8646).
[3]. Lihat Ighatsatul Lahafan min Makaidi asy Syaithan
[4]. Hilyatul Ilmil Mu’allim wa Bulghatut Thalibil Muta’allim, hlm. 17-19.
[5]. Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 68-69.
[6]. Dinukil dengan ringkas dari Qawaaid wa Fawaaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm. 38-40.
[7]. HR Bukhari, no. 9, Muslim, no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari sahabat Abu Hurairah z .
[8]. Syarh Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi I/124.
[9]. Aqiidatut Tauhiid, hlm. 36, oleh Dr. Fauzan bin Abdullah al Fauzan
[10]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111,523), Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.

JADILAH PERINTIS KEBAIKAN

JADILAH PERINTIS KEBAIKAN


Oleh
Syaikh Raid bin Shabri


عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ
تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah pada pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Kebanyakannya mereka dari kabilah Mudhor atau seluruhnya dari Mudhor, lalu wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk, kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat lalu Beliau shalat. Setelah shalat Beliau berkhutbah seraya membaca ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa:1].

Dan membaca ayat di surat Al Hasyr

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Hasyr:18].

Telah bershadaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha' kurmanya, sampai Beliau berkata : "Walaupun separuh kurma".
Jarir berkata: Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurrah, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu.
Jarir berkata: Kemudian berturut-turut orang memberi, sampai aku melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah bersinar seperti emas.
Lalu Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mencontohkan contoh jelek dalam Islam, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Ash Shahih (7/103-104 bersama Syarah Nawawi) dan (16/225-226); Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362); An Nasa'i dalam Al Mujtaba' (5/75-76-77); At Tirmidzi dalam Al Jami' (5/42) no. 2675 dengan lafadz مَنْ سَنَّ سُنَّةَ خَيْرٍ ……… وَمَنْ سَنَّ سُنَّةَ شَرٍّ ً dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.

PEMAHAMAN YANG BENAR TERHADAP HADITS INI
- Perkataan (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) an nimar dengan dikasrahkan huruf nun, adalah bentuk plural dari namirah dengan difathahkan. Maknanya yaitu baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (al aba') dengan dimadkan dan difathahkan huruf 'ain-nya عَبَاءة – عَبَاية . Adapun makna مُجْتَابِي النِّمَارِ yaitu sobek dan terbelah bagian tengahnya.

- Perkataan فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , artinya, berubah.

- Perkataan فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ , berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting, dan menasihati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan dan memperingatkan mereka dari perkara jelek.

- Tentang firman Allah Azza wa Jalla يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ . Ayat ini dibacakan karena ia lebih menyentuh dalam menganjurkan mereka agar bershadaqah dan (juga) karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.

- Perkataan رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ . Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Artinya tempat yang tinggi seperti bukit kecil.

- Perkataan حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ , maknanya wajah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersinar karena senang dan bahagia.

- Perkataan مُذْهَبَةٌ , para ulama membacanya dengan dua sisi. Pertama, yang sudah masyhur dan dirajihkan Al Qadhi dan jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’. Kedua مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.

Al Qadhi menjelaskan dalam Masyariqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya. Pertama, maknanya perak keemasan. Ini lebih cocok untuk (mengungkapkan) keindahan wajah dan keceriaannya. Kedua, menyerupakan keindahan dan keceriannya dengan kulit yang dilapisi emas. Dan bentuk pluralnya adalah madzahib. Al mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.

Mengenai yang menjadi sebab kebahagiaan Rasulullah, karena bergegasnya kaum muslimin dalam mentaati Allah, mengeluarkan harta mereka karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih-sayang mereka kepada sesama muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Jika melihat hal seperti ini, sudah sepantasnya seseorang berbahagia dan menampakkan kebahagiannya. Dan penyebab senangnya adalah apa yang telah dijelaskan tadi.

- Perkataan مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا . Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini, adalah sunnah secara bahasa, yaitu jalan (contoh) yang diikuti atau dilalui; bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam terdapat dalam sabda Beliau:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ dan sabdanya. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا

Kelaziman hadits menuntut penafsiran seperti ini. Yang saya maksudkan dengan kelaziman hadits adalah dalam sabda Rasulullah :

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً , karena dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, Beliau mensifatkan sunnah dengan sunnah jelek, padahal dalam Islam tidak ada sunnah yang jelek. Jadi yang dimaksud sunnah disini adalah sunnah dalam makna bahasa (etimologi) bukan dalam makna syar’i.

Kemudian, kepada orang yang menyelisihi, kita sampaikan bahwa orang-orang itu telah memisah-misahkan hal-hal yang sama dan menyamakan hal-hal yang berbeda, mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk, yang berkualitas rendah dengan yang tinggi dan meletakkan tanah dalam adonan roti.

Dalam banyak nash, kata Sunnah bermakna jalan (metode), sebagaimana hal itu terdapat dalam sabda Rasulullah :

مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

Tidak ada satu jiwapun terbunuh secara zhalim, kecuali anak adam pertama (yaitu yang membunuh saudaranya, Red) mendapatkan bagian dari darahnya (dosa pembunuhan), itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan.

Dan juga sabdanya:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampur-adukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan tadi, maka konsekwensinya kita akan mengatakan “Sesungguhnya membunuh itu adalah sunnah, dan meniru orang musyrik adalah sunnah”. Padahal kalimat ini tidak akan diucapkan oleh orang yang berakal.

Kalau begitu, kita tidak mungkin membawa pengertian sabda Beliau مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً kepada (anjuran membuat) amalan baru, karena keterkaitannya dengan baik atau jelek, yang tidak diketahui kecuali dengan syari’at. Karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari’at semata. Dalam hal ini, akal tidak memiliki peran. Inilah madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dan pendapat yang mengatakan -baik dan buruk dinilai dengan akal- merupakan Ahlu Bid’ah.

(Karena yang dimaksud dalam hadits itu adalah sunnah secara bahasa, yang berarti contoh atau panutan, Red), maka sunnah dalam hadits itu adakalanya baik menurut syari’at, atau buruk menurut syari’at. Sehingga (sunnah yang baik, Red) tidak benar (pemakaiannya, Red), kecuali pada shadaqah yang disebutkan dalam hadits (di depan, Red) dan pada contoh-contoh lain yang disyari’atkan. Sedangkan sunnah sai’ah (contoh yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam, ketika Rasulullah bersabda.

لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ ,

dan kepada kebid’ahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari’at. [1]

Al Hafizh berkata dalam Al Fath 13/302, Al Muhallab berkata,”Dalam bab ini (yaitu Bab Dosa Orang yang Mengajak kepada kesesatan Atau Memberikan Contoh Yang Jelek, Red) mengandung makna peringatan dari kesesatan dan (keharusan, Red) menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama, serta (mengandung, Red) larangan menyelisihi jalan kaum mukminin”.

Sisi peringatannya (wajhu tahdzir), adalah orang yang berbuat kebid’ahan terkadang meremehkannya, karena pada awal mulanya menganggapnya kecil, tidak merasakan kerusakan yang diakibatkan amalan tersebut, yaitu berupa beban dosa yang didapatkan dari dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan bid’ah setelah dia -meskipun seandainya ia tidak mengamalkannya- namun (dia mendapatkan dosa,Red) karena ia sebagai orang yang merintisnya.

Imam Al Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (7/104),”Dalam hadits ini terdapat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan perbuatan yang baik, serta terdapat peringatan keras dari membuat-buat kebatilan dan hal-hal yang jelek. Ucapan ini (Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, Red), beliau sampaikan dalam hadits ini, karena pada awal hadits, Beliau menyatakan.

فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ

(Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurrah, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu. Jarir berkata: Kemudian berturut-turut orang memberi). Ini merupakan keutamaan yang besar bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut.”

PEMAHAMAN YANG SALAH TERHADAP HADITS
Hadits ini difahami secara keliru, yakni banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam membagi pengertian bid’ah, menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayi’ah (bid’ah tercela). Sebagian ulama juga ikut-ikutan dalam hal ini. Berikut ini akan jelas bagi Anda kekeliruan cara berdalil ini.

Dengan memohon bantuan kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya, kami katakan, kebanyakan orang yang berdalil dengan hadits ini dalam membagi bid’ah, bahwasanya orang yang menyampaikan hadits ini kepada Anda dalam keadaan terpotong. Dia menampakkan kepada Anda sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalitas dalam pembagian bid’ah tersebut. Lalu mengklaim adanya bid’ah hasanah. Pada saat yang sama, ia tidak menyebutkan keserasian hadits yang menyebabkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hadits.

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً ...

Di atas kami telah menjelaskan, maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa, bukan secara syar’i. Saya minta kepada orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan,”Apakah dalam sunnah Rasulullah terdapat sunnah yang jelek? Walaupun Beliau sendiri menyatakan dalam hadits ini مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً .

Jika kalian menjawab “Ya, ada”, maka tidak perlu lagi berdiskusi, karena dengan pernyataan jelek ini, tanpa disadari seorang dapat keluar dari agama. Hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama.

Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits ini. Di dalamnya termuat pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, supaya dia mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah sunnah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.

Seandainya, meskipun hadits ini tidak mengandung pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, niscaya sudah cukup dengan lafazh yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً , karena pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek adalah pensifatan yang salah dan sangat tidak layak, karena menunjukkan ada sunnah yang tidak baik diantara sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ini adalah dalil kuat yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut (yaitu lafazh sunnah dalam hadits, Red) secara bahasa. Karena, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sunnah itu adalah agama. Jika Anda mengatakan “Ini adalah sunnah yang baik”, maka Anda sama dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, terhadap apa yang ingin Anda bersihkan.[2]

Penulis berkata: Sungguh salah faham terhadap hadits ini membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang ketika perbuatan mereka diingkari, saat mereka melakukan perkara bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at, mereka berdalil dengan hadits ini dan menyatakan “Ini adalah perkara baik dan tidak ada dosanya, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً “ .

Kepada mereka ini, kami katakan: “Sesungguhnya sahabat mulia (yang disebutkan dalam hadits ini, Red) yang melakukan shadaqah, (ia) tidak melakukan sesuatu yang baru yang tidak ada dalam syari’at. Dalam Al Qur’an, shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb semesta alam, dan juga ada di dalam Sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.

Dalam khutbahnya tersebut, Rasulullah menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah. Namun, ketika mereka semua lambat merespon dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah, (maka) seorang Anshar dari mereka bangkit dan menyerahkan kepada Rasulullah satu shurrah shadaqah. Kemudian yang lain berduyun-duyun menyerahkan shadaqahnya. Sehingga perbuatan Anshar ini menjadi perbuatan yang terpuji. Dia tidak berbuat bid’ah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari’atkan. Lalu dari mana mereka dapat mengatakan, ada bid’ah hasanah yang bermakna (dengan) istilah syar’i?

Kemudian, seandainya makna hadits sesuai dengan yang telah mereka fahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif. Karena Rasulullah menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. Oleh karenanya tidak benar, kecuali sebagaimana yang kami jelaskan, dan itulah yang benar.

Syaikh Masyhur Hasan dalam komentarnya terhadap kitab Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 87, mengatakan,”Dengan demikian (maksudnya dengan memahami lafazh sunnah itu secara bahasa, Red), maka keluar dari keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Setiap bid’ah sesat”. Karena arti bid’ah menurut syar’i, adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at, baik berupa perkataan dan perbuatan, terang-terangan atau isyarat. (Sesungguhnya) setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bid’ah yang sesat, meskipun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan, atau orang yang terkenal sebagai syaikh. Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah, selama tidak sesuai dengan syari’at.”

Kepada orang yang menganggap baik berbagai perbuatan bid’ah dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong, (maka) kita sampaikan bahwa sabda Nabi. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً bukan bermakna orang yang mencontohkan cara yang tidak ada dalam agama, yaitu dalam hukum dan furu’ serta ushulnya. Bukan! Ini merupakan kebodohan. Akan tetapi maksudnya adalah orang yang memberikan contoh dalam zaman dan naungan Islam, yaitu pada zaman dan keberadaannya. Karena agama ini datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan, serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan. Sehingga dalam naungan agama yang lurus ini, memberikan contoh kepada kejelekan, menjadi perkara yang besar, baik kejelekan itu yang baru atau kejelekan yang sudah ada contohnya sebelum Islam.[3]

Saya (penulis) berkata: Anggaplah sahabat dari kalangan Anshar tersebut melakukan perbuatan lain, selain shadaqah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujuinya. Maka, perbuatan atau perkataan sahabat ini menjadi sunnah, setelah iqrar (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sunnah itu tidak hanya ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja , namun juga ditetapkan karena persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana terjadi pada seorang sahabat yang setelah bangun dari ruku’ membaca.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Ketika selesai shalat, Rasulullah berkata, ”Siapakah yang berbicara tadi?” Sahabat itu menjawab,”Saya, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda.

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا

Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya.[4]

Ini adalah persetujuan dan anjuran dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga melakukan perbuatan ini menjadi sunnah dari sisi ini. Dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataan ini ketika i’tidal setelah ruku’. Dan ini adalah “sunnah hasanah” yang diambil dari persetujuan Nabi. Dan persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terputus (tidak akan ada lagi, Red) dengan kematian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali persetujuan yang telah Beliau tunjukkan, sehingga ia tetap merupakan iqrar (persetujuan) Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian orang ada yang mencari nash lain untuk melegimitimasi pendapatnya tentang pembagian bid’ah ini. Sebagian diantara mereka bergantung (berpegang) kepada pernyataan Umar tentang shalat tarawih (berjama’ah, Red).

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Iqtidha’ Shirati Al Mustaqim, hlm. 270,”Sebagian orang ada yang berpendapat, bid’ah itu terbagi menjadi dua bagian; hasanah (baik) dan qabihah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar tentang shalat tarawih “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” dan dengan dalil beberapa perkataan dan perbuatan yang diada-adakan setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau (menganggapnya) hasanah berdasarkan dalil-dalil ijma’ atau qiyas yang menunjukkan hal itu. Terkadang orang yang tidak mantap pemahaman dasar-dasar ilmunya, memasukkan berbagai adat-kebiasaan banyak orang atau yang lainnya ke dalam kategori ini. Lalu menjadikannya sebagai dalil baiknya sebagian bid’ah; entah dengan menjadikannya sebagai kebiasaannya dan kebiasaan orang yang sama dengannya, meskipun tidak mengetahui pendapat seluruh kaum muslimin dalam masalah tersebut, atau enggan meninggalkan kebiasaannya sebagaimana kondisi orang yang (telah) Allah Subhanahu wa Ta'ala terangkan, Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". [Al Maidah:104].

Alangkah banyak orang yang dianggap memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujjah dengan dalil-dalil yang keluar dari kaidah-kaidah ilmu yang dijadikan pegangan dalam agama. Intinya, bahwa nash-nash yang menunjukkan tercelanya kebid’ahan menentang dalil yang menunjukkan baiknya sebagian kebid’ahan, baik itu dari dalil-dalil syari’at yang shahih, atau dari alasan-alasan sebagian orang yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang bodoh, atau orang yang suka mentakwilkan secara umum.

Orang-orang yang menentang ini terbagi dalam dua keadaan.
Pertama : Mereka yang mengatakan “Jika benar bahwa sebagian bid’ah itu baik dan sebagiannya buruk, maka yang buruk adalah bid’ah yang dilarang syari’at. Adapun bid’ah yang tidak didiamkan oleh syari’at, maka (demikian) itu tidak buruk, bahkan baik”. Begitulah yang terkadang disampaikan sebagian mereka.

Kedua : Bid’ah buruk dikatakan “Ini bid’ah hasanah, karena berisi kemaslahatan begini dan begitu”. Mereka menyatakan “Tidak semua bid’ah sesat”.

Tanggapannya: Bukankah terdapat sabda Rasulullah: “Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah yang baru dibuat-buat, dan setiap yang baru dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka” dan peringatan keras dari perkara-perkara baru.

Ini semua adalah nash dari Rasulullah, maka seseorang tidak boleh menolak kandungannya, yang berisi celaan terhadap bid’ah. Barangsiapa yang menolaknya, maka ia seorang yang hina.

Mengenai sanggahan mereka, maka dijawab dengan salah satu dari jawaban berikut, dengan mengatakan kepada mereka: “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka ia bukan bid’ah,” sehingga lafazh umum tetap, tidak ada pengkhususan. Atau dengan mengatakan kepada mereka “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia pengecualian dari keumuman ini. Sehingga lafazh umum ini tetap, benar!”.

Mungkin juga dikatakan ”Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia adalah pengecualian dari keumuman tersebut. Lafazh umum yang terkhususkan (ada pengecualiannya, Red) adalah dalil yang bisa dijadikan hujjah atas sesuatu yang tidak masuk dalam kekhususan. Sehingga orang yang meyakini bahwa sebagian bid’ah terkhususkan dari keumuman tersebut, maka ia membutuhkan dalil yang benar untuk takhsis (pengkhususan). Bila tidak ada, maka keumuman lafazh itu tetap menunjukkan larangan”.

Kemudian, yang mengkhususkan haruslah dalil-dalil syari’at berupa Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’, baik secara nash atau istimbat (kesimpulan dari nash). Adapun adapt kebiasaan sebagian negeri atau kebanyakan negeri, pendapat banyak ulama atau ahli ibadah atau kebanyakan mereka dan sejenisnya, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mengalahkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang meyakini bahwa kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah sudah menjadi kesepakatan -karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya- maka ia salah dalam keyakinannya ini. Karena pada setiap waktu, senantiasa akan ada orang yang melarang kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah, dan tidak boleh mengklaim Ijma’ dengan berdasarkan amalan satu negeri atau beberapa negeri kaum muslimin, apalagi berdasarkan amalan sekelompok mereka.

Jika kebanyakan ulama tidak bersandar kepada perbuatan ulama penduduk Madinah dan Ijma’ mereka pada zaman Imam Malik, namun mereka tetap memandang Sunnah sebagai hujjah atas mereka, sebagaiamana atas selain mereka, padahal para ulama Madinah tersebut telah diberikan ketinggian ilmu dan iman.

Lalu bagaimana seorang mukmin yang berilmu bersandar kepada adat kebiasan kebanyakan orang awam, atau kebiasaan orang yang dianggap pemimpin oleh orang awam, atau kebiasaan satu kaum yang bodoh yang tidak memiliki ketinggian ilmu, tidak termasuk ulul amri, serta mereka tidak layak dijadikan anggota syura (musyawarah), bahkan mungkin iman mereka kepada Allah dan RasulNya belum sempurna. Atau ada satu kaum dari ahli fadhl (yang memiliki kelebihan) bergabung bersama mereka dengan dasar hukum adat, tanpa memandang dengan ilmu, atau karena syubhat bahwa lebih baik keadan mereka, sehinga mereka dianggap sejajar dengan kedudukan mujtahid dari kalangan para imam dan shidiqin?

Berargumen dengan hujjah-hujjah dan bantahannya ini sudah jelas, bahwa ini bukanlah cara Ahlu ilmi berhujjah. Namun karena banyaknya kebodohan, maka banyak orang yang bersandar kepada metode ini, sampai-sampai orang yang dianggap memiliki ilmu dan keshalihan. Dan terkadang, seorang yang memiliki ilmu dan keshalihan itu mendapatkan sandaran (metode) lain, namun bukan diambil dari Allah dan RasulNya, yaitu sandaran-sandaran yang tidak digunakan oleh Ahli Ilmu dan iman. Ia hanya menyampaikan hujjah-hujjah syar’iyah sebagai hujjah atas perkara lain, dan melawan orang yang mendebatnya.

Kesimpulannya : Sebagaimana pernyataan yang disampaikan Ash Shan’ani dalam Tsamarutu An Nadzar (hlm. 11 dengan penomoran saya),”Mereka membagi bid’ah kepada hasanah dan tercela, dan saya yakin, pembagian ini termasuk perbuatan bid’ah.”

Imam Asy Syathibi dalam Al I’tisham, 1/191-192 berkata,”Sungguh, pembagian ini adalah perkara baru yang tidak ada dalil syar’inya. Bahkan hal itu bertolak belakang, karena diantara hakikat bid’ah tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, dan tidak berada di atas kaidah. Seandainya terdapat dalil dari syari’at yang menunjukkan kewajiban atau sunah atau mubahnya, tentu itu bukan bid’ah. Dan pasti, amalan tersebut masuk ke dalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau dimubahkan. Tidak bisa dipadukan antara sesuatu itu bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban atau sunnahnya atau mubahnya, karena pemaduan dua hal ini merupakan pemaduan yang bertentangan.

Akhirnya, saya tutup pernyataan ini dengan pernyataan Umar bin Khathab:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ

Seluruh bid’ah adalah sesat, meskipun orang melihatnya baik. [6]

(Diterjemahkan dari kitab Tashihul A’tha Wal Auhan Al Waqi’ah Fi Fahmi Ahadits, karya Syaikh Raid Shabri, hlm. 189-200)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al I’tisham, 1/184.
[2]. Isyraq Asy Syari’at Fil Hukmi ‘Ala Taqsimi Al Bid’ah, hlm. 20, karya Usamah Al Qashash
[3]. Israq Al Asyari’at Fil Hukmu ‘Ala Taqsimi Al Bid’ah, hlm. 29.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (2/237-238).
[5]. Yaitu hadits “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah”. (Pent.).
[6]. Dikeluarkan oleh Al Lalika’i dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, 1/92 dan Muhammad bin Nashr dalam As Sunnah
, hlm. 24 dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal Ila Sunan Al Kubra, no. 191 dengan sanad shahih.

JADILAH PERINTIS KEBAIKAN

JADILAH PERINTIS KEBAIKAN


Oleh
Syaikh Raid bin Shabri


عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ
تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah pada pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Kebanyakannya mereka dari kabilah Mudhor atau seluruhnya dari Mudhor, lalu wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk, kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat lalu Beliau shalat. Setelah shalat Beliau berkhutbah seraya membaca ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa:1].

Dan membaca ayat di surat Al Hasyr

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Hasyr:18].

Telah bershadaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha' kurmanya, sampai Beliau berkata : "Walaupun separuh kurma".
Jarir berkata: Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurrah, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu.
Jarir berkata: Kemudian berturut-turut orang memberi, sampai aku melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah bersinar seperti emas.
Lalu Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mencontohkan contoh jelek dalam Islam, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Ash Shahih (7/103-104 bersama Syarah Nawawi) dan (16/225-226); Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362); An Nasa'i dalam Al Mujtaba' (5/75-76-77); At Tirmidzi dalam Al Jami' (5/42) no. 2675 dengan lafadz مَنْ سَنَّ سُنَّةَ خَيْرٍ ……… وَمَنْ سَنَّ سُنَّةَ شَرٍّ ً dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.

PEMAHAMAN YANG BENAR TERHADAP HADITS INI
- Perkataan (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) an nimar dengan dikasrahkan huruf nun, adalah bentuk plural dari namirah dengan difathahkan. Maknanya yaitu baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (al aba') dengan dimadkan dan difathahkan huruf 'ain-nya عَبَاءة – عَبَاية . Adapun makna مُجْتَابِي النِّمَارِ yaitu sobek dan terbelah bagian tengahnya.

- Perkataan فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , artinya, berubah.

- Perkataan فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ , berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting, dan menasihati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan dan memperingatkan mereka dari perkara jelek.

- Tentang firman Allah Azza wa Jalla يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ . Ayat ini dibacakan karena ia lebih menyentuh dalam menganjurkan mereka agar bershadaqah dan (juga) karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.

- Perkataan رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ . Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Artinya tempat yang tinggi seperti bukit kecil.

- Perkataan حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ , maknanya wajah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersinar karena senang dan bahagia.

- Perkataan مُذْهَبَةٌ , para ulama membacanya dengan dua sisi. Pertama, yang sudah masyhur dan dirajihkan Al Qadhi dan jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’. Kedua مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.

Al Qadhi menjelaskan dalam Masyariqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya. Pertama, maknanya perak keemasan. Ini lebih cocok untuk (mengungkapkan) keindahan wajah dan keceriaannya. Kedua, menyerupakan keindahan dan keceriannya dengan kulit yang dilapisi emas. Dan bentuk pluralnya adalah madzahib. Al mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.

Mengenai yang menjadi sebab kebahagiaan Rasulullah, karena bergegasnya kaum muslimin dalam mentaati Allah, mengeluarkan harta mereka karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih-sayang mereka kepada sesama muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Jika melihat hal seperti ini, sudah sepantasnya seseorang berbahagia dan menampakkan kebahagiannya. Dan penyebab senangnya adalah apa yang telah dijelaskan tadi.

- Perkataan مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا . Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini, adalah sunnah secara bahasa, yaitu jalan (contoh) yang diikuti atau dilalui; bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam terdapat dalam sabda Beliau:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ dan sabdanya. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا

Kelaziman hadits menuntut penafsiran seperti ini. Yang saya maksudkan dengan kelaziman hadits adalah dalam sabda Rasulullah :

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً , karena dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, Beliau mensifatkan sunnah dengan sunnah jelek, padahal dalam Islam tidak ada sunnah yang jelek. Jadi yang dimaksud sunnah disini adalah sunnah dalam makna bahasa (etimologi) bukan dalam makna syar’i.

Kemudian, kepada orang yang menyelisihi, kita sampaikan bahwa orang-orang itu telah memisah-misahkan hal-hal yang sama dan menyamakan hal-hal yang berbeda, mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk, yang berkualitas rendah dengan yang tinggi dan meletakkan tanah dalam adonan roti.

Dalam banyak nash, kata Sunnah bermakna jalan (metode), sebagaimana hal itu terdapat dalam sabda Rasulullah :

مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

Tidak ada satu jiwapun terbunuh secara zhalim, kecuali anak adam pertama (yaitu yang membunuh saudaranya, Red) mendapatkan bagian dari darahnya (dosa pembunuhan), itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan.

Dan juga sabdanya:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampur-adukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan tadi, maka konsekwensinya kita akan mengatakan “Sesungguhnya membunuh itu adalah sunnah, dan meniru orang musyrik adalah sunnah”. Padahal kalimat ini tidak akan diucapkan oleh orang yang berakal.

Kalau begitu, kita tidak mungkin membawa pengertian sabda Beliau مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً kepada (anjuran membuat) amalan baru, karena keterkaitannya dengan baik atau jelek, yang tidak diketahui kecuali dengan syari’at. Karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari’at semata. Dalam hal ini, akal tidak memiliki peran. Inilah madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dan pendapat yang mengatakan -baik dan buruk dinilai dengan akal- merupakan Ahlu Bid’ah.

(Karena yang dimaksud dalam hadits itu adalah sunnah secara bahasa, yang berarti contoh atau panutan, Red), maka sunnah dalam hadits itu adakalanya baik menurut syari’at, atau buruk menurut syari’at. Sehingga (sunnah yang baik, Red) tidak benar (pemakaiannya, Red), kecuali pada shadaqah yang disebutkan dalam hadits (di depan, Red) dan pada contoh-contoh lain yang disyari’atkan. Sedangkan sunnah sai’ah (contoh yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam, ketika Rasulullah bersabda.

لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ ,

dan kepada kebid’ahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari’at. [1]

Al Hafizh berkata dalam Al Fath 13/302, Al Muhallab berkata,”Dalam bab ini (yaitu Bab Dosa Orang yang Mengajak kepada kesesatan Atau Memberikan Contoh Yang Jelek, Red) mengandung makna peringatan dari kesesatan dan (keharusan, Red) menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama, serta (mengandung, Red) larangan menyelisihi jalan kaum mukminin”.

Sisi peringatannya (wajhu tahdzir), adalah orang yang berbuat kebid’ahan terkadang meremehkannya, karena pada awal mulanya menganggapnya kecil, tidak merasakan kerusakan yang diakibatkan amalan tersebut, yaitu berupa beban dosa yang didapatkan dari dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan bid’ah setelah dia -meskipun seandainya ia tidak mengamalkannya- namun (dia mendapatkan dosa,Red) karena ia sebagai orang yang merintisnya.

Imam Al Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (7/104),”Dalam hadits ini terdapat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan perbuatan yang baik, serta terdapat peringatan keras dari membuat-buat kebatilan dan hal-hal yang jelek. Ucapan ini (Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, Red), beliau sampaikan dalam hadits ini, karena pada awal hadits, Beliau menyatakan.

فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ

(Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurrah, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu. Jarir berkata: Kemudian berturut-turut orang memberi). Ini merupakan keutamaan yang besar bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut.”

PEMAHAMAN YANG SALAH TERHADAP HADITS
Hadits ini difahami secara keliru, yakni banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam membagi pengertian bid’ah, menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayi’ah (bid’ah tercela). Sebagian ulama juga ikut-ikutan dalam hal ini. Berikut ini akan jelas bagi Anda kekeliruan cara berdalil ini.

Dengan memohon bantuan kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya, kami katakan, kebanyakan orang yang berdalil dengan hadits ini dalam membagi bid’ah, bahwasanya orang yang menyampaikan hadits ini kepada Anda dalam keadaan terpotong. Dia menampakkan kepada Anda sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalitas dalam pembagian bid’ah tersebut. Lalu mengklaim adanya bid’ah hasanah. Pada saat yang sama, ia tidak menyebutkan keserasian hadits yang menyebabkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hadits.

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً ...

Di atas kami telah menjelaskan, maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa, bukan secara syar’i. Saya minta kepada orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan,”Apakah dalam sunnah Rasulullah terdapat sunnah yang jelek? Walaupun Beliau sendiri menyatakan dalam hadits ini مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً .

Jika kalian menjawab “Ya, ada”, maka tidak perlu lagi berdiskusi, karena dengan pernyataan jelek ini, tanpa disadari seorang dapat keluar dari agama. Hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama.

Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits ini. Di dalamnya termuat pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, supaya dia mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah sunnah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.

Seandainya, meskipun hadits ini tidak mengandung pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, niscaya sudah cukup dengan lafazh yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً , karena pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek adalah pensifatan yang salah dan sangat tidak layak, karena menunjukkan ada sunnah yang tidak baik diantara sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ini adalah dalil kuat yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut (yaitu lafazh sunnah dalam hadits, Red) secara bahasa. Karena, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sunnah itu adalah agama. Jika Anda mengatakan “Ini adalah sunnah yang baik”, maka Anda sama dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, terhadap apa yang ingin Anda bersihkan.[2]

Penulis berkata: Sungguh salah faham terhadap hadits ini membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang ketika perbuatan mereka diingkari, saat mereka melakukan perkara bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at, mereka berdalil dengan hadits ini dan menyatakan “Ini adalah perkara baik dan tidak ada dosanya, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً “ .

Kepada mereka ini, kami katakan: “Sesungguhnya sahabat mulia (yang disebutkan dalam hadits ini, Red) yang melakukan shadaqah, (ia) tidak melakukan sesuatu yang baru yang tidak ada dalam syari’at. Dalam Al Qur’an, shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb semesta alam, dan juga ada di dalam Sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.

Dalam khutbahnya tersebut, Rasulullah menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah. Namun, ketika mereka semua lambat merespon dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah, (maka) seorang Anshar dari mereka bangkit dan menyerahkan kepada Rasulullah satu shurrah shadaqah. Kemudian yang lain berduyun-duyun menyerahkan shadaqahnya. Sehingga perbuatan Anshar ini menjadi perbuatan yang terpuji. Dia tidak berbuat bid’ah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari’atkan. Lalu dari mana mereka dapat mengatakan, ada bid’ah hasanah yang bermakna (dengan) istilah syar’i?

Kemudian, seandainya makna hadits sesuai dengan yang telah mereka fahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif. Karena Rasulullah menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. Oleh karenanya tidak benar, kecuali sebagaimana yang kami jelaskan, dan itulah yang benar.

Syaikh Masyhur Hasan dalam komentarnya terhadap kitab Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 87, mengatakan,”Dengan demikian (maksudnya dengan memahami lafazh sunnah itu secara bahasa, Red), maka keluar dari keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Setiap bid’ah sesat”. Karena arti bid’ah menurut syar’i, adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at, baik berupa perkataan dan perbuatan, terang-terangan atau isyarat. (Sesungguhnya) setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bid’ah yang sesat, meskipun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan, atau orang yang terkenal sebagai syaikh. Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah, selama tidak sesuai dengan syari’at.”

Kepada orang yang menganggap baik berbagai perbuatan bid’ah dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong, (maka) kita sampaikan bahwa sabda Nabi. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً bukan bermakna orang yang mencontohkan cara yang tidak ada dalam agama, yaitu dalam hukum dan furu’ serta ushulnya. Bukan! Ini merupakan kebodohan. Akan tetapi maksudnya adalah orang yang memberikan contoh dalam zaman dan naungan Islam, yaitu pada zaman dan keberadaannya. Karena agama ini datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan, serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan. Sehingga dalam naungan agama yang lurus ini, memberikan contoh kepada kejelekan, menjadi perkara yang besar, baik kejelekan itu yang baru atau kejelekan yang sudah ada contohnya sebelum Islam.[3]

Saya (penulis) berkata: Anggaplah sahabat dari kalangan Anshar tersebut melakukan perbuatan lain, selain shadaqah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujuinya. Maka, perbuatan atau perkataan sahabat ini menjadi sunnah, setelah iqrar (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sunnah itu tidak hanya ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja , namun juga ditetapkan karena persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana terjadi pada seorang sahabat yang setelah bangun dari ruku’ membaca.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Ketika selesai shalat, Rasulullah berkata, ”Siapakah yang berbicara tadi?” Sahabat itu menjawab,”Saya, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda.

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا

Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya.[4]

Ini adalah persetujuan dan anjuran dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga melakukan perbuatan ini menjadi sunnah dari sisi ini. Dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataan ini ketika i’tidal setelah ruku’. Dan ini adalah “sunnah hasanah” yang diambil dari persetujuan Nabi. Dan persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terputus (tidak akan ada lagi, Red) dengan kematian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali persetujuan yang telah Beliau tunjukkan, sehingga ia tetap merupakan iqrar (persetujuan) Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian orang ada yang mencari nash lain untuk melegimitimasi pendapatnya tentang pembagian bid’ah ini. Sebagian diantara mereka bergantung (berpegang) kepada pernyataan Umar tentang shalat tarawih (berjama’ah, Red).

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Iqtidha’ Shirati Al Mustaqim, hlm. 270,”Sebagian orang ada yang berpendapat, bid’ah itu terbagi menjadi dua bagian; hasanah (baik) dan qabihah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar tentang shalat tarawih “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” dan dengan dalil beberapa perkataan dan perbuatan yang diada-adakan setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau (menganggapnya) hasanah berdasarkan dalil-dalil ijma’ atau qiyas yang menunjukkan hal itu. Terkadang orang yang tidak mantap pemahaman dasar-dasar ilmunya, memasukkan berbagai adat-kebiasaan banyak orang atau yang lainnya ke dalam kategori ini. Lalu menjadikannya sebagai dalil baiknya sebagian bid’ah; entah dengan menjadikannya sebagai kebiasaannya dan kebiasaan orang yang sama dengannya, meskipun tidak mengetahui pendapat seluruh kaum muslimin dalam masalah tersebut, atau enggan meninggalkan kebiasaannya sebagaimana kondisi orang yang (telah) Allah Subhanahu wa Ta'ala terangkan, Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". [Al Maidah:104].

Alangkah banyak orang yang dianggap memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujjah dengan dalil-dalil yang keluar dari kaidah-kaidah ilmu yang dijadikan pegangan dalam agama. Intinya, bahwa nash-nash yang menunjukkan tercelanya kebid’ahan menentang dalil yang menunjukkan baiknya sebagian kebid’ahan, baik itu dari dalil-dalil syari’at yang shahih, atau dari alasan-alasan sebagian orang yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang bodoh, atau orang yang suka mentakwilkan secara umum.

Orang-orang yang menentang ini terbagi dalam dua keadaan.
Pertama : Mereka yang mengatakan “Jika benar bahwa sebagian bid’ah itu baik dan sebagiannya buruk, maka yang buruk adalah bid’ah yang dilarang syari’at. Adapun bid’ah yang tidak didiamkan oleh syari’at, maka (demikian) itu tidak buruk, bahkan baik”. Begitulah yang terkadang disampaikan sebagian mereka.

Kedua : Bid’ah buruk dikatakan “Ini bid’ah hasanah, karena berisi kemaslahatan begini dan begitu”. Mereka menyatakan “Tidak semua bid’ah sesat”.

Tanggapannya: Bukankah terdapat sabda Rasulullah: “Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah yang baru dibuat-buat, dan setiap yang baru dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka” dan peringatan keras dari perkara-perkara baru.

Ini semua adalah nash dari Rasulullah, maka seseorang tidak boleh menolak kandungannya, yang berisi celaan terhadap bid’ah. Barangsiapa yang menolaknya, maka ia seorang yang hina.

Mengenai sanggahan mereka, maka dijawab dengan salah satu dari jawaban berikut, dengan mengatakan kepada mereka: “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka ia bukan bid’ah,” sehingga lafazh umum tetap, tidak ada pengkhususan. Atau dengan mengatakan kepada mereka “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia pengecualian dari keumuman ini. Sehingga lafazh umum ini tetap, benar!”.

Mungkin juga dikatakan ”Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia adalah pengecualian dari keumuman tersebut. Lafazh umum yang terkhususkan (ada pengecualiannya, Red) adalah dalil yang bisa dijadikan hujjah atas sesuatu yang tidak masuk dalam kekhususan. Sehingga orang yang meyakini bahwa sebagian bid’ah terkhususkan dari keumuman tersebut, maka ia membutuhkan dalil yang benar untuk takhsis (pengkhususan). Bila tidak ada, maka keumuman lafazh itu tetap menunjukkan larangan”.

Kemudian, yang mengkhususkan haruslah dalil-dalil syari’at berupa Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’, baik secara nash atau istimbat (kesimpulan dari nash). Adapun adapt kebiasaan sebagian negeri atau kebanyakan negeri, pendapat banyak ulama atau ahli ibadah atau kebanyakan mereka dan sejenisnya, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mengalahkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang meyakini bahwa kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah sudah menjadi kesepakatan -karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya- maka ia salah dalam keyakinannya ini. Karena pada setiap waktu, senantiasa akan ada orang yang melarang kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah, dan tidak boleh mengklaim Ijma’ dengan berdasarkan amalan satu negeri atau beberapa negeri kaum muslimin, apalagi berdasarkan amalan sekelompok mereka.

Jika kebanyakan ulama tidak bersandar kepada perbuatan ulama penduduk Madinah dan Ijma’ mereka pada zaman Imam Malik, namun mereka tetap memandang Sunnah sebagai hujjah atas mereka, sebagaiamana atas selain mereka, padahal para ulama Madinah tersebut telah diberikan ketinggian ilmu dan iman.

Lalu bagaimana seorang mukmin yang berilmu bersandar kepada adat kebiasan kebanyakan orang awam, atau kebiasaan orang yang dianggap pemimpin oleh orang awam, atau kebiasaan satu kaum yang bodoh yang tidak memiliki ketinggian ilmu, tidak termasuk ulul amri, serta mereka tidak layak dijadikan anggota syura (musyawarah), bahkan mungkin iman mereka kepada Allah dan RasulNya belum sempurna. Atau ada satu kaum dari ahli fadhl (yang memiliki kelebihan) bergabung bersama mereka dengan dasar hukum adat, tanpa memandang dengan ilmu, atau karena syubhat bahwa lebih baik keadan mereka, sehinga mereka dianggap sejajar dengan kedudukan mujtahid dari kalangan para imam dan shidiqin?

Berargumen dengan hujjah-hujjah dan bantahannya ini sudah jelas, bahwa ini bukanlah cara Ahlu ilmi berhujjah. Namun karena banyaknya kebodohan, maka banyak orang yang bersandar kepada metode ini, sampai-sampai orang yang dianggap memiliki ilmu dan keshalihan. Dan terkadang, seorang yang memiliki ilmu dan keshalihan itu mendapatkan sandaran (metode) lain, namun bukan diambil dari Allah dan RasulNya, yaitu sandaran-sandaran yang tidak digunakan oleh Ahli Ilmu dan iman. Ia hanya menyampaikan hujjah-hujjah syar’iyah sebagai hujjah atas perkara lain, dan melawan orang yang mendebatnya.

Kesimpulannya : Sebagaimana pernyataan yang disampaikan Ash Shan’ani dalam Tsamarutu An Nadzar (hlm. 11 dengan penomoran saya),”Mereka membagi bid’ah kepada hasanah dan tercela, dan saya yakin, pembagian ini termasuk perbuatan bid’ah.”

Imam Asy Syathibi dalam Al I’tisham, 1/191-192 berkata,”Sungguh, pembagian ini adalah perkara baru yang tidak ada dalil syar’inya. Bahkan hal itu bertolak belakang, karena diantara hakikat bid’ah tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, dan tidak berada di atas kaidah. Seandainya terdapat dalil dari syari’at yang menunjukkan kewajiban atau sunah atau mubahnya, tentu itu bukan bid’ah. Dan pasti, amalan tersebut masuk ke dalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau dimubahkan. Tidak bisa dipadukan antara sesuatu itu bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban atau sunnahnya atau mubahnya, karena pemaduan dua hal ini merupakan pemaduan yang bertentangan.

Akhirnya, saya tutup pernyataan ini dengan pernyataan Umar bin Khathab:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ

Seluruh bid’ah adalah sesat, meskipun orang melihatnya baik. [6]

(Diterjemahkan dari kitab Tashihul A’tha Wal Auhan Al Waqi’ah Fi Fahmi Ahadits, karya Syaikh Raid Shabri, hlm. 189-200)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al I’tisham, 1/184.
[2]. Isyraq Asy Syari’at Fil Hukmi ‘Ala Taqsimi Al Bid’ah, hlm. 20, karya Usamah Al Qashash
[3]. Israq Al Asyari’at Fil Hukmu ‘Ala Taqsimi Al Bid’ah, hlm. 29.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (2/237-238).
[5]. Yaitu hadits “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah”. (Pent.).
[6]. Dikeluarkan oleh Al Lalika’i dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, 1/92 dan Muhammad bin Nashr dalam As Sunnah
, hlm. 24 dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal Ila Sunan Al Kubra, no. 191 dengan sanad shahih.