Senin, 23 Juli 2012

Beberapa Hadits Palsu dan Lemah Yang Populer Di Bulan Ramadhan




Bismillah, wash Sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waa laahu.

Berikut adalah beberapa hadits yg masyhur(populer) di masyarakat, khususnya saat bulan Ramadhan yg penur berkah. Sering dibawakan oleh para penceramah, disebarkan lewat sms tausiyah, maupun artikel dan selebaran. Namun amat disayangkan, hadits2 tsb ialah Lemah dan Palsu. Amat penting bagi ummat Islam untuk mengetahui derajat sebuah hadits sebelum mengamalkan atau menyebarkannya, siapa yg meriwayatkan? apakah shahih atau tidak?. Karena hadits lemah, apalagi palsu, tidak dapat disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mengatakan Rasulullah berkata begini dan begitu padahal -ia tahu bahwa hal tsb- tidak pernah keluar dari lisan beliau yg mulia ataupun tidak pernah dilakukan oleh beliau, merupakan dosa yg besar, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Abu Hurairah, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya]
Hadits lemah dan palsu seputar Ramadhan amat banyak, berikut saya bawakan 10 diantaranya;
Hadits ke-1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.” [HR. Abu Nu’aim]  
Keterangan :
Sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

nb: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits ke-2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.” [HR. Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman (3/1437)]
Keterangan :
sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Hadits ke-3
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَة كُلّهَا
“Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadhan (keutamaannya), maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.” [HR.Ibnu Khuzaimah III/190
Keterangan :
Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub. Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/103] dan juga Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 74] menghukumi dia (Jarir bin Ayyub) adalah perawi yang suka memalsukan hadits -yakni pendusta-. Lihat Lisanul Mizan [II/302] karya Ibnu Hajar.

Hadits ke-4
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka” [Disebutkan dlm Kitab Durratun Nashihin tanpa sanad]

Hadits Laa Ashlalahu /tidak ada asal-usulnya (Lebih parah dari hadits palsu).

Hadits ke-5
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.” [HR. Ibnu Hibban dlm Al Majruhin I/300, Al Baihaqi di Syu’abul Iman III/1441]
Keterangan :
sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).


nb: Yang benar, orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yg diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits: “Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” [HR. At Tirmidzi no.807, ia berkata: “Hasan shahih”]


Selasa, 03 Juli 2012

HADITS PALSU TENTANG HURU-HARA AKHIR ZAMAN PADA HARI JUMAT DI PERTENGAHAN BULAN ROMADHON

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

Bismillah. Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajarannya hingga hari kiamat.
Akhir-akhir ini banyak sekali pertanyaan dari beberapa member BB Group Majlis Hadits Ikhwan dan Akhwat seputar derajat hadits huru-hara akhir zaman yang terjadi pada pertengahan bulan Romadhon yang bertepatan dengan hari Jumat.
Maka kami katakan, bahwa para ulama hadits terdahulu maupun yang hidup di zaman sekarang telah menerangkan dengan jelas dan gamblang bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang masalah tersebut tidak ada satu pun yang Shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baik ditinjau dari segi sanad hadits maupun realita yang ada. Bahkan semuanya adalah hadits-hadits munkar dan palsu yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Berikut ini akan saya sebutkan teks (lafazh) hadits tersebut dengan sanadnya, serta studi kritis para ulama terhadapnya. 
قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ)
Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pent) di bulan Dzul Qo’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan solat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya PALSU(Maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perowi hadits yang pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadits. Para perowi tersebut ialah sebagaimana berikut ini
1. Nu’aim bin Hammad
Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah),
An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/101 no.589)
Abu Daud berkata: “Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dua puluh hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak mempunyai dasar sanad (sumber asli, pent).”
Imam Al-Azdi mengatakan: “Dia termasuk orang yang memalsukan hadits dalam membela As-Sunnah, dan membuat kisah-kisah palsu tentang keburukan An-Nu’man (maksudnya, Abu Hanifah, pent), yang semuanya itu adalah kedustaan.”  (Lihat Mizan Al-I’tidal karya imam Adz-Dzahabi IV/267).
Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: “Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah dengannya, dan ia telah menyusun kitab Al-Fitan, dan menyebutkan di dalamnya keanehan-keanehan dan kemungkaran-kemungkaran.” (Lihat As-Siyar A’lam An-Nubala X/609).
2. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah).
Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.
An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/64 no.346)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/319 no.3563).
3. Abdul Wahhab bin Husain.
Dia seorang perowi yang majhul (tidak dikenal).
Al-Hakim berkata tentangnya: “Dia seorang perowi yang Majhul (tidak jelas jati dirinya dan kredibilitasnya).” (Lihat Al-Mustadrak No. 8590)
Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish: “Dia mempunyai riwayat hadits palsu.” (Lihat Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani II/139).
4. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani.
Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah dalam periwayatan hadits) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqolani, Ibnu Hibban dan An-Nasa’i.
An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).”
Yahya bin Ma’in berkata: “Dia seorang perowi yang tidak ada apa-apanya.” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi VI/136 no.1638).
Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya.” (Lihat Al-Majruhin, karya Ibnu Hibban II/252 no.928).
Imam Al-Azdi berkata: “Dia seorang yang gugur riwayatnya.” (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani IX/72 no.104)
5. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani.
Dia seorang perowi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini.
An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia bukan seorang perowi yang kuat (hafalannya, pent).” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi II/186 no.370).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata tentangnya: “Imam Asy-Sya’bi telah mendustakan pendapat akalnya, dan dia juga dituduh menganut paham/madzhab Rofidhoh (syi’ah), dan di dalam haditsnya terdapat suatu kelemahan.” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/146 no.1029).
Ali bin Al-Madini berkata: “Dia seorang pendusta.”
Abu Hatim Ar-Rozi berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya imam Adz-Dzahabi IV/152 no.54)
PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG HADITS INI:
Al-Uqoily rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang diriwayatkan oleh perowi yang tsiqoh (terpercaya), atau dari jalan yang tsabit (kuat dan benar adanya).” (Lihat Adh-Dhu’afa Al-Kabir III/52).
Ibnul jauzi rahimahullah berkata: “Hadits ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Al-Maudhu’aat III/191).
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini Palsu (Maudhu’). Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan.” Dan beliau menyebutkan beberapa riwayat dalam masalah ini dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhuma. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah wa Al-Maudhu’ah no.6178, 6179).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak mempunyai dasar yang benar, bahkan ini adalah hadits yang batil dan dusta.” (Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz XXVI/339-341).
KESIMPULAN:
Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits Maudhu’ (Palsu). Tidak boleh diyakini sebagai kebenaran, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena disamping sanad hadits ini tidak ada yg dapat diterima sebagai hujjah, juga realita telah mendustakannya. Sebab telah berlalu tahun-tahun yang banyak dan telah terjadi berulang kali hari Jumat yang bertepatan dengan tanggal lima belas (pertengahan) bulan Romadhon, namun kenyataannya tidak pernah terjadi sebagaimana berita yang terkandung di dalam hadits ini. (Alhamdulillah).
Oleh karena itu, kita dilarang keras menyebarluaskannya kepada orang lain baik melalui media cetak, maupun elektronik, atau dalam obrolan dan khutbah kecuali dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan, kepalsuan, dan kebatilannya, serta bertujuan untuk memperingatkan umat darinya.
Jika kita telah melakukan ini, berarti kita telah bebas dan selamat dari ancaman keras Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu berupa masuk neraka bagi siapa saja yang sengaja berdusta atas nama beliau, baik dengan tujuan menjelekkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ajarannya, atau dalam rangka membela Nabi dan memotivasi kaum muslimin untuk bersemangat dalam beribadah kepada Allah.
Demikian jawaban atas pertanyaan dalam masalah ini yang dapat saya sampaikan. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Telah selesai ditulis pada hari Rabu, 04 Januari 2012 di kediamannya, Klaten – Jawa Tengah.

Sabtu, 12 Mei 2012

Kitab al Hikam Dalam Timbangan Islam

Oleh: Ustadz Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah

Kitab al Hikam yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah as Sakandari adalah kitab yang sangat popular di dunia dan juga di Indonesia. Kitab ini banyak dikaji di pondok-pondok pesantren dan bahkan di dalam siaran-siaran radio di banyak kota di Indonesia.

Kitab yang populer ini ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali penyelewengan terhadap syari’at Islam. Karena itulah, insya Allah dalam pembahasan kali ini akan kami jelaskan kesesatan-kesesatan kitab ini sebagai nasihat keagamaan bagi saudara-saudara kami kaum muslimin dan sekaligus sebagai jawaban kami atas permintaan sebagian pembaca yang menanyakan isi kitab ini. Sebagai catatan, cetakan kitab yang kami jadikan acuan dalam pembahasan ini adalah cetakan Penerbit Balai Buku Surabaya.


Penulis Kitab Ini

Penulisnya adalah Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atho’ullah as Sakandari.

Aqidah Wihdatul Wujud

Penulis berkata di dalam hikmah nomor 18-21:

“Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat ditutupi oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat di bayangkan bahwa Allah dapat di hijab oleh sesuatu, padahal Allah yang dzhohir sebelum adanya sesuatu? Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih nampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin akan dihijab oleh segala sesuatu, padahal Dia lah Yang Esa (tunggal) yang tidak ada bersamanya segala sesuatu?

Penulis juga berkata dalam hikmah nomor 46:

“Telah ada Allah, dan tiada sesuatu pun bersama-Nya, dan Dia kini sebagaimana ada-Nya semula.”

Kami katakan:

Ini adalah aqidah wihdatul wujud yang batil dan kufur. Aqidah tersebut merupakan kelanjutan daru pemikiran hulul. Pemikiran hulul dicetuskan pertama kali oleh Husain bin Manshur al Hallaj, ialah pemikiran kelompok Sufi yang menetapkan bahwa Allah menjelma pada segala sesuatu.

Menurut keyakinan wihdatul wujud tidak ada sesuatu pun kecuali Allah, segala sesuatu yang ada adalah penjelmaan Allah, tidak ada pemisahan antara al Kholiq dan makhluk. Keyakinan ini berasal dari pemikiran Hindu, Buddha, dan Majusi, sedangkan Islam berlepas diri dari keyakinan sesat ini.

Para pencetus pemikiran ini terbagi menjadi dua kelompok:

Kelompok yang memandang bahwasanya Allah azza wa jalla adalah roh dan bahwasanya alam adalah jisim (jasad) dari roh tersebut. Jika seorang manusia telah menyucikan dirinya maka dia akan bersatu dengan roh yaitu Allah.
Kelompok yang lain beranggapan bahwa seluruh yang ada di alam semesta tidak ada hakikat bagi wujudnya kecuali wujud Allah.[1] Mereka berkata,”Selama Allah adalah hakikatnya wujud alam yang nampak ini maka semua keyakinan yang ada adalah haq, berarti semua agama kembali kepada satu aqidah, yaitu bahwa semua agama adalah sama dan semua agama adalah benar!”
Para ulama kaum muslimin sepakat tentang kufurnya kelompok Sufi yang menganut keyakinan wihdatul wujud dan hulul. Demikian juga mereka (para ulama) mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan pemikiran-pemikiran ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kekufuran mereka ini lebih besar daripada kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Arab.” [2]

Berdo’a Kepada Allah Berarti Menuduh Allah

Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:

“Permintaanmu dari Allah adalah menuduh Allah (khawatir tidak memberi kepadamu), dan permintaanmu untuk-Nya adalah ketidakhadiran-Nya darimu.”

Kami katakan:

Bagaimana dikatakan bahwa meminta kepada Allah adalah hal yang tercela, padahal Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya (yang artinya):

“Rabbmu berfirman : ‘Berdo’alah kepada-Ku pasti Aku kabulkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina.” [QS.Ghofir/40:60]

Bahkan Allah akan murka kepada orang-orang yang tidak mau meminta kepada-Nya sebagaimana di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah ta’ala maka Allah murka kepadanya.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’ nya:5/456, dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:2418]

Seorang penyair berkata:

“Allah murka jika engkau tidak minta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta maka dia marah.” [3]

Maka meminta kepada Allah adalah salah satu ibadah yang mulia sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Do’a itu ibadah.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’-nya: 5/211 dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shohib. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:3407)

Bolehkah Berdalil Atas Adanya Allah Dengan Adanya Alam Semesta?

Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:

Jauh berbeda antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam, dengan orang yang berdalil bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya Allah. Orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam adalah orang yang mengenal haq dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu dari asal mulanya. Sedang orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka bilakah Allah itu ghaib sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya? Dan bilakah Allah itu jauh sehingga adanya alam itu dapat menyampaikan kepadanya?

Kami katakan:

Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya dan kemudian untuk beribadah semata-mata kepada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” [QS.Fushshilat/41:37]

Dan Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [QS.al Baqarah/221-22]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah.” [4]

Ber-istidlal (berdalil) dengan adanya alam untuk menunjukkan keberadaan Allah adalah manhaj (metode) para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah:

Al Imam Malik rahimahullah ditanya oleh Harun ar Rosyid tentang dalil atas wujudnya Allah maka beliau berdalil dengan perbedaan bahasa, suara dan nada.

Al Imam Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya oleh orang-orang zindiq tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil tentang alam semesta yang sangat teratur yang tidak mungkin kecuali ada penciptanya.

Al Imam asy Syafi’i rahimahullah tatkala ditanya tentang dalil atas keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah daun yang jika dimakan oleh ulat sutera maka akan mengeluarkan sutera, dan jika dimakan oleh lebah maka akan mengeluarkan madu, dan jika dimakan oleh kambing dan sapi maka akan mengeluarkan kotoran, dan jika dimakan oleh kijang misik maka akan mengeluarkan minyak misik, ini menunjukkan atas keagungan Pencipta.

Al Imam Ahmad rahimahullah keika ditanya tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah telur yang mati yang keluar darinya makhluk yang hidup. [5]

Ilmu Kasyaf

Penulis berkata dalam hikmah nomor 162-164

“Tempat terbitnya berbagai nur cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya. Nur cahaya yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang datang langsung dari pembendaharaan yang ghaib.”


Kami katakan:

Inilah yang disebut sebagai Ilmu Kasyaf yang digambarkan oleh Ibnu ‘Arabi dengan perkataannya: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna di sisi kami dalam maqom ilmu sehingga ilmunya di ambil langsung dari Allah azza wa jalla…maka bukanlah ilmu melainkan yang berasa dari kasyaf dan syuhud.” [6]

Kaum sufi menyandarkan ajaran agama mereka kepada hawa nafsu mereka yang mereka namakan dengan kasyaf dan ilham. Mereka benar-benar menjauhi ilmu yang diambil dari para ulama Sunnah. Abu Yazid al Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari para ulama tulisan dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati, kami katakan: “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” [7]

Perkataan para dedengkot Sufi di atas menunjukkan betapa amat jahilnya mereka akan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj yang haq. Perkataan mereka ini mengandung ajakan kepada kaum muslimin agar meninggalkan semua kitab-kitab hadits yang mengandung sanad-sanad yang tsabit (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena para pemilik riwayat-riwayat ini sudah meninggal dunia, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga sudah meninggal dunia. Perkataan mereka ini sangat membahayakan Islam dan kaum muslimin meskipun tampak seolah-olah perkataan yang tidak berarti.

Beramal Tanpa Mengharap Pahala

Penulis berkata di dalam hikmah nomor 255:

“Bukanlah seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa-apa kepadanya.”

Penulis juga berkaa di dalam hikmah nomor 265:

“Bagaimana engkau akan meminta upah terhadap sutu amal yang Allah sendiri menyedekahkan kepadamu amal itu, atau bagaimanakah engkau minta balasan atas suatu keikhlasan padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?


Kami katakan:

Demikianlah kaum Sufi melandaskan ibadah hanya pada mahabbah (kecintaan) dan mengabaikan segi yang lainnya seperti khouf dan roja’, sebagaimana perkataan sebagian mereka: “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”

Tidak syak lagi bahwasanya kecintaan kepada Allah adalah landasan ibadah. Hanya, ibadah tidak lah terbatas pada mahabbah saja. Masih banyak segi-segi lain ibadah seperti khouf, roja’, khudhu’, do’a dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ibadah adalah nama yang meliputi semua yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dari perkataan dan perbuatan yang tampak dan tidak tampak.”

Allah menyifati para nabi dan rosul-Nya bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dan bahwasanya mereka selalu mengharap rahmat Allah dan takut kepada Allah (yang artinya):

“….Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” [QS.al Isra’/17:57]

Dan diantara do’a yang sering diucapkan oleh penghulu anak Adam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu surga serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-Nya: 2/1264 dan dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohih Sunan Ibnu Majah]

Penutup

Inilah yang bisa kami paparkan dengan ringkas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab al Hikam. Sebetulnya masih banyak kesalahan lain kitab ini yang perlu dijelaskan tetapi insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang hakikat kitab ini.

Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya. Aamiin. Wallahu A’lam bishshowab.

Note:

[1] Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan hal.206-207

[2] Majmu’ Fatawa: 2/296

[3] Ibid

[4] Tafsir al Qur’an al-‘Azhim: 1/76

[5] Tafsir Ibnu Katsir: 1/77-78

[6] Thobaqoh Sya’roni: 1/5

[7] Ibid

Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Thn.XIII, Jumadil Ula 1430/Mei 2009, Hal.40-43

Selasa, 17 April 2012

PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

DASAR ISLAM ADALAH AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH YANG SHAHIH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH-2


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


C. Dalil-Dalil dari Penjelasan Salafush Shalih

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِتَّبِعُوْا وَلاََ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[1]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu juga mengatakan:

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus” [2]

Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحَ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.

“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.”[3]

Beliau rahimahullah juga berkata:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالْقَوْلِ.

“Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauh-kanlah dirimu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [4]

Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.

“Mereka mengatakan, ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (Sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.’” [5]

Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:

أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.

“Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [6]

Imam al-Barbahary rahimahullah [7] (wafat th. 329 H) berkata:
1. “Ketahuilah sesungguhnya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam dan masing-masing tidak dapat dipisah-pisahkan.”

2. “Termasuk bagian dari Sunnah adalah tetap di atas al-Jama’ah, barangsiapa condong kepada selain al-Jama’ah dan menyelisihinya, maka ia telah melepas tali Islam dari pundaknya dan telah sesat dan menyesatkan.”

3. “Landasan dan tolok ukur al-Jama’ah adalah para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam -semoga Allah merahmati mereka semua-, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa yang tidak mengambil kebenaran dari mereka, maka ia telah memilih jalan kesesatan dan kebid’ahan. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap pelaku kesesatan diancam menjadi penghuni Neraka.” [8]

4. “‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang berbuat kesesatan yang dia anggap petunjuk. Begitu juga Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang meninggalkan petunjuk yang ia anggap sebagai kesesatan karena semua perkara telah dijelaskan secara tuntas dan hujjah telah ditegakkan secara sempurna sehingga tidak ada celah bagi siapa pun untuk mencari-cari alasan.’”[9]

As-Sunnah dan al-Jama’ah telah meletakkan kerangka agama secara sempurna dan telah tampak jelas kepada seluruh orang yang mengikutinya.

5. “Ketahuilah wahai saudaraku rahimakallaah (semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu) bahwa agama hanyalah ajaran yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan bukan berdasarkan pada ketetapan akal dan pemikiran manusia.

“Semua ilmu agama bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga engkau terhempas dari agama dan keluar dari Islam. Tidak ada alasan bagimu sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang Sunnah kepada seluruh umatnya dan mengajarkan secara tuntas kepada semua para Shahabatnya, mereka adalah al-Jama’ah dan Sawadul A’zham. Sawadul A’zham ialah kebenaran dan para pembelanya, maka barang-siapa yang menyelisihi para Shahabat Rasul dalam sebagian masalah agama, ia telah kafir.”[10]

Perhatian Para Ulama Terhadap Aqidah Salafush Shalih
Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelaskan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.

Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan lafazh-lafazh mereka dan riwayat Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang shahih.

Kedua, yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum muslimin dari berbagai macam disiplin ilmu, yaitu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang lainnya.

Sehingga ‘aqidah dan manhaj Salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.

Penulisan dan pembukuan ‘aqidah dan manhaj Salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pentingnya berpegang dengan ‘aqidah Salaf ini di antara ‘aqidah-‘aqidah yang lainnya, yaitu antara lain :

1. Dengan ‘aqidah Salaf, seorang muslim akan mengagungkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, adapun ‘aqidah yang lain karena mashdarnya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.

2. Dengan ‘Aqidah Salaf, seorang muslim akan terikat dengan generasi yang pertama, yaitu para Shahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah sebaik-baik manusia dan umat.

3. Dengan ‘aqidah Salaf, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik umat. Hal ini karena ‘aqidah Salaf berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah Salaf, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Imam Malik rahimahullah berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.

“Tidak akan baik umat ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi yang pertama umat ini (Shahabat).” [11]

4. ‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih. Oleh karena itu, dengan kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar -Nya Subhanahu wa Ta'ala.

5. ‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat, lebih mengetahui dan lebih bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah Salaf ini akan membawa seseorang kepada keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, berpegang pada ‘aqidah Salaf ini hukumnya wajib.

Kewajiban Mengikuti Salafush Shalih
Kewajiban mengikuti Salafush Shalih bukanlah perkara bid’ah, bahkan ini adalah perkara wajib sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat an-Nisaa' ayat 115.
Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa': 115]

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi ultimatum keras terhadap siapa saja yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menentang beliau dan menyalahi jalannya orang-orang yang beriman yaitu jalannya para Shahabat. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim yang mengaku pengikut Al-Qur-an dan As-Sunnah untuk mengikuti pemikiran atau pendapat yang dipegang oleh generasi Salafush Shalih. Sebab apa yang mereka pegang merupakan penjelasan dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Kita sama-sama mengetahui bahwa As-Sunnah merupakan penjabaran dan penjelasan dari isi Al-Qur-anul Karim, sebagaimana Allah berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka...” [An-Nahl: 44][12]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Waki’ dalam kitabnya, az-Zuhud, Imam Ahmad, ad-Darimy dalam Sunannya; Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no. 104)
[2]. Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no. 1810), tahqiq: Abul Asybal.
[3]. Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/174 no. 315).
[4]. Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445 no. 127) dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby (hal. 138), Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120).
[5]. HR. Ad-Darimy (I/54), Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (I/356 no. 242). Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaiy (I/98 no. 109).
[6]. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama‘ah oleh al-Laalikai (I/175-185 no. 317).
[7]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahary, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddady (point 1-5, hal. 59-60).
[8]. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka.” (HR. Nasa’i III/188 dan al-Baihaqy dalam Asma’ wa Shifat, dari hadits Jabir yang di-shahihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubra III/163)
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (162) dari jalan al-Auza’i bahwa ‘Umar Radhiyallahu anhu menyampaikan kepadanya namun sanadnya munqathi’. Dan al-Mawarzi mengeluarkan dalam as-Sunnah (95) dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ia berkata, “Setelah datang Sunnah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan suatu kesesatan, sementara hal itu dianggap petunjuk.” (Lihat Syarhus Sunnah hal. 60)
[10]. Ini tidak secara mutlak, sebab kufur tidak bisa dituduhkan kepada orang per orang, kecuali telah nyata-nyata melakukan kekufuran sementara tidak ada penghalang untuk dikafirkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (XII/487) berkata, “Meng-kafirkan orang memiliki beberapa syarat dan penghalangnya yang mungkin tidak ada pada seseorang, sebab mengkafirkan secara umum tidak melazimkan takfir secara orang per orang kecuali setelah memenuhi syarat dan tidak ada penghalangnya.”
[11]. Lihat Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaitan (hal. 313) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid ‘Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby, 1422 H; Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar (hal. 73) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany.
[12]. Dinukil dan diringkas dari kitab at-Ta’liiqaat as-Saniyyah Syarah Ushuulud Da’wah as-Salafiyyah (hal. 23-24, 31-32) oleh Muhaddits al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v, disusun oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.