Selasa, 17 April 2012

PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

DASAR ISLAM ADALAH AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH YANG SHAHIH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH-2


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


C. Dalil-Dalil dari Penjelasan Salafush Shalih

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِتَّبِعُوْا وَلاََ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[1]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu juga mengatakan:

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus” [2]

Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحَ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.

“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.”[3]

Beliau rahimahullah juga berkata:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالْقَوْلِ.

“Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauh-kanlah dirimu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [4]

Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.

“Mereka mengatakan, ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (Sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.’” [5]

Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:

أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.

“Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [6]

Imam al-Barbahary rahimahullah [7] (wafat th. 329 H) berkata:
1. “Ketahuilah sesungguhnya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam dan masing-masing tidak dapat dipisah-pisahkan.”

2. “Termasuk bagian dari Sunnah adalah tetap di atas al-Jama’ah, barangsiapa condong kepada selain al-Jama’ah dan menyelisihinya, maka ia telah melepas tali Islam dari pundaknya dan telah sesat dan menyesatkan.”

3. “Landasan dan tolok ukur al-Jama’ah adalah para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam -semoga Allah merahmati mereka semua-, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa yang tidak mengambil kebenaran dari mereka, maka ia telah memilih jalan kesesatan dan kebid’ahan. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap pelaku kesesatan diancam menjadi penghuni Neraka.” [8]

4. “‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang berbuat kesesatan yang dia anggap petunjuk. Begitu juga Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang meninggalkan petunjuk yang ia anggap sebagai kesesatan karena semua perkara telah dijelaskan secara tuntas dan hujjah telah ditegakkan secara sempurna sehingga tidak ada celah bagi siapa pun untuk mencari-cari alasan.’”[9]

As-Sunnah dan al-Jama’ah telah meletakkan kerangka agama secara sempurna dan telah tampak jelas kepada seluruh orang yang mengikutinya.

5. “Ketahuilah wahai saudaraku rahimakallaah (semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu) bahwa agama hanyalah ajaran yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan bukan berdasarkan pada ketetapan akal dan pemikiran manusia.

“Semua ilmu agama bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga engkau terhempas dari agama dan keluar dari Islam. Tidak ada alasan bagimu sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang Sunnah kepada seluruh umatnya dan mengajarkan secara tuntas kepada semua para Shahabatnya, mereka adalah al-Jama’ah dan Sawadul A’zham. Sawadul A’zham ialah kebenaran dan para pembelanya, maka barang-siapa yang menyelisihi para Shahabat Rasul dalam sebagian masalah agama, ia telah kafir.”[10]

Perhatian Para Ulama Terhadap Aqidah Salafush Shalih
Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelaskan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.

Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan lafazh-lafazh mereka dan riwayat Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang shahih.

Kedua, yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum muslimin dari berbagai macam disiplin ilmu, yaitu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang lainnya.

Sehingga ‘aqidah dan manhaj Salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.

Penulisan dan pembukuan ‘aqidah dan manhaj Salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pentingnya berpegang dengan ‘aqidah Salaf ini di antara ‘aqidah-‘aqidah yang lainnya, yaitu antara lain :

1. Dengan ‘aqidah Salaf, seorang muslim akan mengagungkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, adapun ‘aqidah yang lain karena mashdarnya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.

2. Dengan ‘Aqidah Salaf, seorang muslim akan terikat dengan generasi yang pertama, yaitu para Shahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah sebaik-baik manusia dan umat.

3. Dengan ‘aqidah Salaf, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik umat. Hal ini karena ‘aqidah Salaf berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah Salaf, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Imam Malik rahimahullah berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.

“Tidak akan baik umat ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi yang pertama umat ini (Shahabat).” [11]

4. ‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih. Oleh karena itu, dengan kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar -Nya Subhanahu wa Ta'ala.

5. ‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat, lebih mengetahui dan lebih bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah Salaf ini akan membawa seseorang kepada keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, berpegang pada ‘aqidah Salaf ini hukumnya wajib.

Kewajiban Mengikuti Salafush Shalih
Kewajiban mengikuti Salafush Shalih bukanlah perkara bid’ah, bahkan ini adalah perkara wajib sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat an-Nisaa' ayat 115.
Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa': 115]

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi ultimatum keras terhadap siapa saja yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menentang beliau dan menyalahi jalannya orang-orang yang beriman yaitu jalannya para Shahabat. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim yang mengaku pengikut Al-Qur-an dan As-Sunnah untuk mengikuti pemikiran atau pendapat yang dipegang oleh generasi Salafush Shalih. Sebab apa yang mereka pegang merupakan penjelasan dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Kita sama-sama mengetahui bahwa As-Sunnah merupakan penjabaran dan penjelasan dari isi Al-Qur-anul Karim, sebagaimana Allah berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka...” [An-Nahl: 44][12]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Waki’ dalam kitabnya, az-Zuhud, Imam Ahmad, ad-Darimy dalam Sunannya; Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no. 104)
[2]. Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no. 1810), tahqiq: Abul Asybal.
[3]. Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/174 no. 315).
[4]. Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445 no. 127) dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby (hal. 138), Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120).
[5]. HR. Ad-Darimy (I/54), Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (I/356 no. 242). Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaiy (I/98 no. 109).
[6]. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama‘ah oleh al-Laalikai (I/175-185 no. 317).
[7]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahary, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddady (point 1-5, hal. 59-60).
[8]. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka.” (HR. Nasa’i III/188 dan al-Baihaqy dalam Asma’ wa Shifat, dari hadits Jabir yang di-shahihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubra III/163)
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (162) dari jalan al-Auza’i bahwa ‘Umar Radhiyallahu anhu menyampaikan kepadanya namun sanadnya munqathi’. Dan al-Mawarzi mengeluarkan dalam as-Sunnah (95) dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ia berkata, “Setelah datang Sunnah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan suatu kesesatan, sementara hal itu dianggap petunjuk.” (Lihat Syarhus Sunnah hal. 60)
[10]. Ini tidak secara mutlak, sebab kufur tidak bisa dituduhkan kepada orang per orang, kecuali telah nyata-nyata melakukan kekufuran sementara tidak ada penghalang untuk dikafirkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (XII/487) berkata, “Meng-kafirkan orang memiliki beberapa syarat dan penghalangnya yang mungkin tidak ada pada seseorang, sebab mengkafirkan secara umum tidak melazimkan takfir secara orang per orang kecuali setelah memenuhi syarat dan tidak ada penghalangnya.”
[11]. Lihat Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaitan (hal. 313) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid ‘Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby, 1422 H; Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar (hal. 73) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany.
[12]. Dinukil dan diringkas dari kitab at-Ta’liiqaat as-Saniyyah Syarah Ushuulud Da’wah as-Salafiyyah (hal. 23-24, 31-32) oleh Muhaddits al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v, disusun oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.

DASAR ISLAM ADALAH AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH YANG SHAHIH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH [1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Islam bersumber kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shalih. Sedangkan yang dimaksud Salafus Shalih adalah para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang muslim berkewajiban untuk mengikuti (ittiba’) kepada manhaj (metode) Salafush Shalih ini. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:

A. Dalil-Dalil dari Al-Qur-an
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [Al-An’aam: 153]

Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa jalan itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU... Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa': 115]

Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan masuk Neraka Jahannam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah prinsip terbesar dalam Islam yang memiliki konsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum mukminin adalah jalannya para Shahabat Radhiyallahu anhum. Karena ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, seperti firman Allah Azza wa Jalla:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Rasul (Muhammad) telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah: 285]

Orang-orang mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat Radhiyallahu anhum, tidak ada yang lain.

Ayat di atas menunjukkan bahwasanya mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesatan.[3]

Firman Allah Azza wa Jalla lainnya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” [At-Taubah: 100]

Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat Radhiyallahu anhum adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak men-dapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla dan ini harus diperhatikan. [4]

Firman Allah Azza wa Jalla :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” [Ali ‘Imran: 110]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menetapkan keutamaan bagi para Shahabat atas sekalian umat-umat yang ada, dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Azza wa Jalla mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap yang ma’ruf (baik) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka sampai Allah Azza wa Jalla mewariskan bumi dan seisinya.[5]

B. Dalil-Dalil dari As-Sunnah
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ (مُتَفَرِّقَةٌ)، لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا
)إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى:  فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.’” [Al-An’aam: 153][6]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ، وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [7]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu mereka dikatakan sebaik-baik manusia [8]. Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata (خَيْرُكُمْ) ‘sebaik-baik kalian’ dan dalam riwayat yang lain disebutkan (خَيْرُ أُمَّتِيْ)“sebaik-baik umatku.”

Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فاَبْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek.” [9]

Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang wajibnya mengikuti manhaj Salafush Shalih (para Shahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah (no. 28):

قَالَ الْعِرْبَاضُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lalu beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” [10]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat di dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan Sunnah para Shahabatnya Radhiyallahu anhum.

Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan):

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”[11]

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” [12]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Shahabat).

Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman dengan masuk ke dalam Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Lihat pembahasan ini pada buku saya, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 60-74), cet. II, Pustaka at-Taqwa, th. 2004 H.
[2]. Tafsiirul Qayyim lil Ibnil Qayyim (hal. 14-15).
[3]. Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarh Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54).
[4]. Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarh Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 43).
[5]. Lihatlah kitab Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86), oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly
[6]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimi (I/67-68), al-Hakim (II/318), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 97) dan an-Nasa-i dalam Tafsiirnya (no. 194). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no. 17). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[7]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (212)) dan yang lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu. Hadits ini mutawatir sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mu-tanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87).
[8]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
[9]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’uz Zawaa-id (I/177-178).
[10]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95-96), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany juga menshahihkannya.
[11]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Ajury dalam asy-Syari’ah, al-Laalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v mengatakan hadits ini shahih masyhur. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 203, 204).
[12]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahiihul Jami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H.

Sabtu, 14 April 2012

Ceramah · Aris Munandar · Pembeda Antara Wali Allah dan Wali Syaithan

Ceramah · Aris Munandar · Pembeda Antara Wali Allah dan Wali Syaithan

MENGENALI JALANNYA ORANG-ORANG YANG SESAT

MENGENAL SABILUL MUJRIMIN ADALAH KEWAJIBAN SYAR'I


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilali



Hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu:
"Artinya : Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : 'Ada'. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da'i - da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama'ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu". [Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399].

Makna Hadits
[1]. Mengenali Sabilul Mujrimin Adalah Kewajiban Syar'i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qur'ani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (sabilul Mu'minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) Allah berfirman.

"Artinya :Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa". [Al-An'am : 55].

Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula sabilul mu'minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.

Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.

"Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri".

"Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya".

Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu. Maka ia berkata : "Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya".

[2]. Kekokohan Kita Dihancurkan Dari Dalam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang : Apakah karena sedikitnya kami waktu itu ? Beliau bersabda : Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan didalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Beliau bersabda : Mencintai dunia dan takut mati". [Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na'im dalam Al-Hailah].

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa :
[1]. Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya.
[2]. Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
[3]. Kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
[4]. Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka.

Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya :

"Artinya : Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah, dimana Allah belum pernah menurunkan satu alasanpun tentangnya". [ Ali-Imran : 151].

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

"Artinya : Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku : Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan ; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; .... dan seterusnya ". [Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu].

Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan : "Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian ...".

Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab : "Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air".

Kemudian apa yang menjadikan "pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit" itu seperti buih yang mengambang di atas air ?

Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barakahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "Dakhanun" Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan "hiqd (kedengkian), atau daghal (penghianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu 'Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain.

"Artinya : Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya" [Riwayat Abu Dawud no. 4247].

Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15 : Bahwa sabda beliau : "Dan didalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi didalamnya ada kekeruhan dan kegelapan". Adapun Al 'Adzimul Abadi dalam ' Aunil Ma'bud XI/316 menukil perkataan Al-Qari yang berkata : "Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)".

Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita". Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36 : "Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab". Sedangkan Al-Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan". Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim.

"Artinya : Akan ada dikalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia" [Riwayat Muslim].

Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai da'i atau du'at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama' dari da'a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. [Lihat 'Aunil Ma'bud XI/317].

[3]. Jama'ah Minal Muslimin Dan Bukan Jama'ah Muslimin/'Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan da'wah ilallah, dimana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang menda'wahkan bahwa merekalah Jama'ah Muslimin/Jama'ah 'Umm (Jama'ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berba'iat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a'dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.

Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jama'atul Muslimin. Kalaulah Jama'atul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini dimana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.

Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jama'ah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jama'atul Muslimin atau Jama'atul 'Umm (Jama'ah Induk). karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jama'ah ataupun Imam.

Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jama'ah Muslimin adalah yang tergabung didalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jama'ah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah , mereka adalah jama'ah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada diantara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimaullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : "Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama'ah adalah Sawadul A'dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas'ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika 'Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama'ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah sati firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan".

[4]. Mejauhi Semua Firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jama'ah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwakan mashalih (pembangunan) atau mathami' (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul diatas asa pemikiran kafir, seperti ; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah dirubah ...!

[5]. Jalan Penyelesaiannya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahannam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu.

Dari pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama.
Bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat 'Irbadh Ibnu Sariyah.

"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian". [Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya].

Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits 'Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu Ta'ala 'alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jama'ah Muslimin serta Imamnya.

Kedua.
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta'adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara dzahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.

Ketiga.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh dajjal.

[Disadur dan diringkas dari kutaib yang berjudul "Qaulul Mubin fi Jama'atil Muslimin" karangan Salim bin 'Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh]

[Disalin dari Majalah As-Sunnahedisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, Dengan Judul Hadits Hudzaifah Radliyallahu Ta'ala Anhu, Penerbit Istiqomah Grup Surakarta, Alamat Redaksi Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran No 241A Surakarta 57152]
______
Maraji'
[1]. Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
[2]. Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
[3]. Al Jami' As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
[4]. Haliyatul Auliya' oleh Abu Na'im Al- Ashbahani.
[5]. Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
[6]. As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
[7]. As-Sunnan, oleh Abu Dawud
[8]. As-Sunnan, oleh Tirmidzi
[9]. Syiar A'lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
[10]. Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
[11]. As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
[12]. 'Aunil Ma'bud, oleh Syamsul Al-Abadi
[13]. Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
[14]. Al-Mustadrak, oleh Hakim
[15]. Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal 

Kamis, 05 April 2012

MEMBONGKAR KEBID’AHAN DAN PENYIMPANGAN SATU TUGAS PENGEMBAN ILMU



Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu ini akan dipikul orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka menolak tahrif orang yang melewati batas, menolak intihaal ahli kebatilan dan ta’wil orang bodoh.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan periwayatan yang banyak, diantaranya:
1. Riwayat Ibrahim bin Abdirrahman Al ‘Udzri secara mursal [1] Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/209, dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233. Mereka meriwayatkan dari jalan Al Walid bin Muslim dari Ibrahim bin Abdirrahman dari orang tsiqah dari para gurunya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian juga ada jalan periwayatan lain dari Ibrahim ini, dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqah, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah 1/53, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 1/59, Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 29 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233 dari jalan Mu’an bin Rifa’ah As Salami.

Demikian juga Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’ 4/256, Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/17 meriwayatkan darinya.

2. Riwayat sahabat Usamah bin Zaid yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang lemah.

3. Riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam kitab Syaraf Ashhabil, hadits hal. 28 dengan sanadnya dari Abu Shalih Abdullah bin Shalih dari Laits bin Sa’ad dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Al Musayyab dari Ibnu Mas’ud. Abu Shalih seorang shaduq katsirul ghaladz [2] (teliti dalam menulis namun memiliki kelalaian).

4. Riwayat Ali bin Abi Thalib yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad mu’dhal [3].

5. Riwayat Abu Umamah Al Bahili yang dikeluarkan oleh Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad yang lemah.

6. Riwayat Mu’adz bin Al Jabal yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 11 dengan sanad yang lemah sekali.

7. Riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan dari beliau melalui tiga jalan.
a. Jalan periwayatan Abu Hazim Salman Al Asyja’i yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil. Dalam sanadnya ada Yazid bin Kisan seorang yang shaduq yukhti.[4]
b. Jalan periwayatan Abu Shalih Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dan Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang agak lemah.
c. Jalan periwayatan Abu Qubail Huyaiy bin Hani’ yang dikeluarkan oleh Al Bazar dalam Kasyful Astar, 1/86 dan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa dengan sanad yang lemah sekali.

8. Riwayat Abdullah bin Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dengan sanad yang lemah sekali.

9. Riwayat Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, dengan sanad yang lemah sekali.

10. Riwayat Jabir bin Abdillah, disebutkan oleh Al Iraqi dalam At Taqyid Wal Idhah, hal. 139 belum dapat diketahui sanadnya.

11. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan As Sakhawi dalam Fathul Mughits, 1/294 dan belum diketahui sanadnya. [5]

Kesimpulannya.
Syaikh Abdul Aziz Ali Abdillathif menyatakan,“Sanad yang lemah sekali hanya ada pada riwayat Mu’adz bin Jabal, riwayat Al Bazzar dan ‘Uqaili, dari jalan periwayatan Abu Quba-x:IzoYdys Abu Hurairah, riwayat Abdilah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr. Yang lainnya kelemahannya tidak berat.”[6]

Hadits ini dishahihkan Imam Ahmad dan dilemahkan oleh Imam Al Iraqi. Yang rajih, hadits ini adalah hadits hasan dengan banyaknya jalan periwayatan, sebagaimana dinyatakan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, dalam kitab beliau At Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 24 dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Hilyatul ‘Alim Al Mu’alim Wa Bulghatit Thalib Al Muta’allim, hal. 77. Wallahu a’lam.

SYARAH KOSA KATA
• يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْم : ilmu disini ialah ilmu kitab dan sunnah atau agama. Dinyatakan oleh Imam yang mulia Muhammad bin Sirin,“Sesungguhnya ilmu ini ialah agama. Maka lihatlah, dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [7]

• مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ : bermakna, ilmu kitab dan sunnah ini akan dibawa pada setiap generasi yang datang setelah Salaf oleh orang yang ‘adil [8] dari mereka. Ibnul Qayim menyatakan,“Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa ilmu yang dibawanya akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya pada setiap generasi, sehingga tidak terlantar dan hilang.” [9] Kemudian yang dimaksud orang adil disini ialah para ulama pewaris para nabi, yang bertugas di atas tiga hal. Yaitu, menolak sikap ghuluw (melampaui batas), menghancurkan kebatilan dan membongkar kebodohan, sebagaimana dalam hadits di atas. [10]

• يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ : bermakna menolak perubahan orang yang melampaui batas dalam permasalahan agama.

Tahrif, adalah berpaling dari posisi dan kebenaran kepada yang lainnya [11]. Tahrif ini terbagi menjadi dua, yaitu tahrif lafadz dan tahrif makna. Tahrif makna inilah yang dinamakan oleh ahli bid’ah sebagai ta’wil.

Ibnul Qayyim menyatakan, tahrif terbagi menjadi dua, (yaitu) tahrif lafdzi dan tahrif maknawi. Tahrif lafdzi bermakna merubahnya, adakalanya dengan penambahan atau pengurangan lafadz atau dengan perubahan harakat i’rob atau perubahan selain i’robnya. Demikian ini empat bagian tahrif lafadz. Al Jahmiyah dan Rafidhah melakukan itu semua, namun mereka hanya melakukan tahrif terhadap nash hadits dan tidak dapat melakukannya pada lafadz Al Qur’an. Walaupun demikian Rafidhah tetap banyak melakukannya terhadap lafazd Al Qur’an dan menuduh Ahlus Sunnah yang melakukan perubahan Al Qur’an.

Lalu Ibnul Qayyim menyatakan, adapun tahrif maknawi ialah tahrif yang mereka tampakkan dan kembangkan dengan nama ta’wil. Demikian ini merupakan istilah yang salah, diada-adakan dan tidak pernah digunakan dalam bahasa Arab. Ta’wil ini bermakna memalingkan makna dari yang semestinya. Hakikatnya, ialah memberikan kepada lafadz makna lain dengan adanya sedikit kesamaan diantara makna asal dan makna ta’wil tersebut. [12]

• وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْن : membongkar kedustaan ahli bathil, karena intihal. Artinya, bila seseorang mendakwakan (mengklaim) sesuatu untuk dirinya secara dusta, baik berupa sya’ir atau perkataan, padahal itu milik orang lain.

• وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ : menolak takwil orang yang melakukannya tanpa dasar ilmu dan pemahaman terhadap ayat dan hadits Nabi, lalu memalingkannya dari dzahir lafadznya.[13]

SYARAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan para ulama setelah meninggalnya para nabi dan rasul. Mereka menunjuki orang tersesat kepada petunjuk dan membuat mereka dapat melihat kebenaran agama Allah secara benar. Berapa banyak orang yang tertolong dengan sebab ajaran dan perjuangan dakwah mereka. Alangkah baiknya pengaruh mereka terhadap masyarakat dan umat ini.

Demikianlah tugas para ulama pengemban ilmu. Mereka harus menjaga agama Islam dan umatnya dari seluruh kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Mereka menjaganya dari perpecahan dan kerusakan akibat hal-hal tersebut.

Namun apa yang mereka terima? Cercaan, teror dan berbagai kecaman datang silih berganti. Mereka dihujat sebagai pemecah belah umat, peruncing perbedaan umat, suka memfitnah dan segudang tuduhan lainnya. Itulah segala resiko, dari tugas pengemban ilmu yang mereka peroleh. Mereka tetap melaksanakan tugas menjaga agama dan umat ini dari perpecahan dan kehancuran, dengan mencurahkan kasih-sayangnya agar umat ini hidup di bawah lindungannya. Mereka hentikan para penyesat dan musuh Allah dari kegiatan pemurtadan dan penyesatan umat, dengan beramar makruf nahi mungkar, mengajak manusia bertauhid dan menjauhi segala kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Merekalah yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan umat, menegakkan tiang, kekuatan dan kejayaan Islam atas agama yang lainnya dan menghancurkan hawa nafsu, kebidahan, kefajiran dan kemaksiatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,“Para ulama memiliki kewajiban atas umat untuk menjaga dan menyampaikan agama ini. Jika mereka tidak menyampaikan ilmu agama ini kepada mereka atau melalaikan tugas menjaga agama, maka demikian itu merupakan kedzaliman yang paling besar terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. [Al Baqarah:159].

Hal ini, karena dampak jelek (bahaya) dari menyembunyikan ilmu mereka, berimbas kepada binatang dan yang lainnya. Sehingga semua melaknat mereka termasuk para binatang.” [14]

Oleh sebab itu para ulama salaf senantiasa membongkar dan menjelaskan kepada umat, tentang kebid’ahan dan para ahlinya. Tidak cukup hanya disitu, bahkan memperingatkan fitnah dan bahaya mereka terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam. Lihatlah apa yang dinyatakan imam ahli sunnah Ibnul Qayim, ketika berbicara tentang sikap para salaf terhadap kebid’ahan. Beliau rahimahullah berkata,” “Pengingkaran para salaf dan imam mereka semakin keras terhadap kebidahan. Mereka membantah pelakunya dari segala penjuru dunia dan memperingatkan dengan keras fitnah ahli bid’ah. Sampai pengingkaran mereka terhadap kebida’han melebihi pengingkaran mereka terhadap kekejian, kedzaliman dan permusuhan. Karena bahaya kebid’ahan, kehancuran agama dan penentangannya lebih besar.”[15]

Lihatlah wahai saudaraku kaum muslimin, bagaimana para ulama berusaha menjaga agama dan umat Islam dengan mengerahkan segenap kemampuannya membongkar kesalahan dan kebid’ahan yang ada! Semua itu, karena bahaya dan implikasi bid’ah yang demikian mengerikan terhadap persatuan dan kesatuan kaum muslimin.

Jadi membongkar penyimpangan agama, bukanlah memecah persatuan umat dan memperuncing perselisihannya. Namun itu sangat membantu kaum muslimin merapikan barisannya menuju persatuan dan kejayaan Islam di muka bumi ini. Demikian ini dapat dilihat dalam sejarah kaum muslimin yang sangat panjang, sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini.

Membongkar kesalahan dan penyimpangan agama, merupakan perkara penting dan menjadi tugas mulia para pengemban ilmu. Juga menjadi nikmat dan anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kaum muslimin. Sehingga umat dapat mengerti kesalahan mereka, lalu dapat memperbaikinya agar lebih baik dan sempurna.

Memang demikianlah yang disinyalir dalam hadits yang mulia ini, yang tentunya juga menunjukkan keutamaan dan ilmu mereka.

Imam Ibnul Qayim menyatakan: Hadits ini menunjukkan sanjungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para ulama yang membawa ilmu warisannya. Ilmu ini diisyaratkan beliau n dalam sabdanya:

(هَذَا الْعِلْمَ). Semua pengemban ilmu yang disebutkan itu mesti seorang yang ‘adil. Oleh karena itu, sudah terkenal di kalangan umat ini sifat ‘adil para penukil dan pengemban ilmu tersebut, tanpa ada keraguan dan kebimbangan lagi.

Sudah pasti, setiap orang yang telah di sanjung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak didapatkan jarh (celaan) pada mereka. Sehingga seluruh para imam yang telah terkenal sebagai periwayat ilmu nabawi dan warisannya, adalah orang-orang yang ‘adil dengan sanjungan (ta’dil) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidaklah diterima celaan sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya.

Bebeda dengan orang yang terkenal dari kalangan umat ini dengan sifat tercela dan buruk. Semisal tokoh ahli bid’ah dan yang mengikuti mereka dari orang yang diragukan keshalihanya. Karena mereka, menurut umat ini bukan termasuk pengemban ilmu nabawi. Sehingga, tidaklah mengemban ilmu Rasulullah n , kecuali orang yang ‘adil.

Namun terkadang, terdapat kesalahan dalam memahami istilah ‘adil ini. Sehingga menganggap, bahwa yang dimaksudkan ialah orang yang tidak memiliki dosa. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Yang benar ialah bermakna ‘adil, dipercaya atas agama ini.[16]

Pantaslah demikian, karena mereka merupakan pewaris para nabi dan rasul, sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewarisi dinar dan tidak pula dirham, namun mewarisi ilmu. Sehingga siapa yang telah mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang sempurna.[17]

Sungguh aneh bila seseorang yang berusaha meluruskan kesalahan sekelompok kaum muslimin atau jama’ah, lalu dianggapnya sebagai penyebar fitnah, pemecah persatuan dan persaudaraan Islam. Bahkan lebih dari itu, mereka harus diteror dengan berbagai celaan dan makian serta tuduhan tanpa bukti dan keterangan jelas, seperti julukan, sebagai antek Amerika dan Yahudi, penjilat pemerintah, atau bodoh tidak mengenal fiqih waqi’ dan lain-lainnya. Sungguh suatu tuduhan yang keji dan tak berperi-kemanusiaan, apalagi sesuai dengan syari’at. Tuduhan yang tidak mungkin akan keluar dari seseorang yang mengerti hak pengemban ilmu. Layak dan pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada orang yang membongkar penyimpangan suatu jama’ah atau sekelompok kaum muslimin, agar semua sadar dan kembali bertaubat kepada Allah l ?! Sungguh tidak pantas dan teramat sangat tidak pantas.

Demikianlah sunatullah yang bakal menimpa penegak kebenaran, dari para rasul dan nabi, serta para pengikut mereka.

وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً

Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. [Al Ahzab:62].

Hujatan dan gelaran buruk telah menimpa para ulama Ahlu Sunnah sejak zaman dahulu. Imam Abu Utsman Ash Shabuni menjelaskan,“Saya melihat sikap ahli bid’ah dalam memberi gelaran-gelaran jelek kepada Ahlu Sunnah merupakan sikap meniru cara kaum musyrikin terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (kaum musyrikin) telah telah menggelari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbagai julukan. Sebagian mereka menggelarinya sebagai tukang tukang sihir. Ada yang menggelarinya dengan gelar dukun, sya’ir, orang gila, kesurupan, pembual dan pendusta. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh dan suci dari aib-aib tersebut. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, semata-mata hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih. Allah berfirman.

انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَيَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً

Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar). [Al Isra:48].

Demikian juga ahli bid’ah –semoga Allah Azza wa Jalla menghinakan mereka- telah memberikan gelaran yang banyak terhadap para ulama perawi hadits Nabi, orang yang menyampaikannya kepada orang lain dan pengikut sunnah Rasulullah n . Sebagian mereka menggelarinya dengan gelar hasyawiyah. Yang lainnya menjulukinya dengan gelaran musyabihah, nabitah, nashibah dan jabariyah. Padahal Ashhabul Hadits sendiri amatlah terjaga, jauh dan bersih dari aib celaan ini. Mereka tak lain adalah pengikut sunnah yang terang, pemilik peri kehidupan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, orang yang berjalan di jalan yang lurus dan di atas hujjah yang kokoh dan kuat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti kitab, wahyu dan kalamNya. Mereka mendapatkan taufiq juga dalam mengikuti Rasulullah atas seluruh haditsnya. Hadits-hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi perintah kepada umatnya untuk berbuat kemakrufan dalam perkataan dan perbuatan, berisi larangan dari seluruh kemungkaran.

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala membantu mereka untuk berpegang teguh dan mengambil petunjuk kepada perilaku dan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga melapangkan dada mereka untuk mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para imam syari’at dan para ulamanya. Maka, barangsiapa yang mencintai satu kaum, maka ia bersama mereka pada hari kiamat nanti, dengan dasar sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Sesorang itu bersama orang yang dicintainya.[18]

Hadits yang mulia ini juga menjelaskan bahaya tahrif yang dilakukan seseorang yang melampaui batas, kedustaan ahli batil dan ta’wil, orang yang bodoh terhadap agama ini. Sehingga pemurnian Islam dari perkara ini, merupakan satu kewajiban dan tugas syar’i bagi para pengemban ilmu. Fardhu kifayah yang harus dilaksanakan dengan adab dan kaidah-kaidah syari’at, sehingga dapat menghilangkan dosa dan kewajiban umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kepada para ulama dengan kebaikan yang berlipat ganda.

BAHAYA MENDIAMKAN KEMUNGKARAN DAN KEBID’AHAN
Mendiamkan kebid’ahan dan kemungkaran yang menyebar di masyarakat Islam akan menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya. Diantara kerusakan dan kemudharatan tersebut ialah:

1. Kehilangan unsur penting kehidupan dan kejayaan umat Islam, yaitu amar makruf nahi mungkar dan memerangi kebatilan.
2. Menyebabkan kemenangan ahli batil dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
3. Menyebarkan dan mengembangkan amalan atau orang yang menyelisihi kebenaran, baik dalam masalah i’tikad, pemikiran dan amalan.
4. Berkembang syubhat-syubhat yang merusak aqidah dan akhlak, serta hati umat Islam.
5. Melemahkan kekuatan iman dan i’tikad (aqidah) yang benar.
6. Menghilangkan hukuman syar’i terhadap ahli hawa dan ahli bid’ah serta ahli syahwat.
7. Menghilangkan pembatas antara bid’ah dan sunnah, kemakrufan dan kemungkaran. Juga menghilangkan ghirah membela kesuciam agama ini.
8. Menyebabkan orang yang mampu melakukan perbuatan ini berdosa; karena membantah dan membongkar kebid’ahan dan kesalahan tersebut merupakan satu kewajiban.
9. Merusak agama ini dengan tercampurnya kebenaran dan kebatilan.[19]

Melihat sebagian bahaya dan kerusakan yang timbul, tentunya kita harus berusaha melaksanakan hal ini. Tentu semuanya dengan adab dan di atas koridor syari’at. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menegur kaum muslimin untuk berhati-hati dalam bersikap. Wallahu a’lam. (Disusun Oleh : Abu Aisyah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Mursal menurut istilah para ulama hadits, ialah hadits yang ada pernyataan tabi’in langsung menukil dari Rasulullah n .
[2]. Shaduq katsirul ghaladz, ialah perawi yang shaduq (baik dalam keadilan agamanya), namun umumnya berbuat salah dalam meriwayatkan hadits. Menurut Ibnu Abi Hatim, ini termasuk yang tidak diambil hujjah haditsnya dalam halal dan haram. Lihat Dhawabit Al Jarh Wa Ta’dil, hal. 158.
[3]. Mu’dhal, ialah hadits yang dihapus dua orang perawi atau lebih secara berurutan di tengah sanad.
[4]. Shaduqun yukhti, ialah shaduq dalam agamanya, namun berbuat banyak kesalahan dalam hadits. Ini termasuk martabat kelima dalam martabat jarh dan ta’dil menurut Imam Ibnu Hajar. Hadits orang yang demikian, sifatnya ini diterima bila ada penguat yang menunjukkan diterimanya hadits tersebut. Lihat Dhawabith Al Jarh Wa Ta’dil, hal. 166.
[5]. Takhrij ini diringkas dari kitab Dhawabith Al Jarh Wat Ta’dil, karya Syaikh Abdilaziz bin Muhammad Ali Abdillathif, hal. 23-25 dengan penambahan.
[6]. Dhawabith Al Jarh Wat Ta’dil, hal. 25.
[7]. Lihat At Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 24.
[8]. Adil atau ‘adalah disini, ialah orang yang memiliki kemampuan untuk terus dalam keadaan taqwa dan jauh dari dosa-dosa besar dan hal-hal yang merusak harga dirinya.
[9]. Miftah Daris Sa’adah, 1/495.
[10]. Juga lihat keterangan Syaikh Ali Hasan dalam Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 25.
[11]. Dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Ar Rudud, hal 133 dari kitab Ash Shawa’iqul Mursalah, 1/215.
[12]. Lihat foot note Aqidah Salaf Ashhabul Hadits, hal. 163 menukil dari Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah, 2/147.
[13]. Ad Dinul Khalish, karya Shidiq Hasan Khan, hal. 261-263, dinukil dari Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 25-26.
[14]. Majmu’ Fatawa, dinukil dari kitab Ar Rudud, karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 8.
[15]. Madarijus Salikin 1/372.
[16]. Miftah Daris Sa’adah 1/495-496.
[17]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya dalam kitab Al Ilmu, Bab Al Hatsu ‘Ala Thalabil Ilmi, no.3157 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab Muqadimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hats ‘Ala Thalabil Ilmi, 219 dan dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
[18]. Aqidah Salaf Ashhadul Hadits, hal. 305-306.
[19]. Diambil dari kitab Ar Rudud, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 81-83 dengan pengurangan dan penambahan.

MENGURAI BENANG MERAH ANTARA AHLUL BID’AH DENGAN YAHUDI DAN NASHARA


Ihwal pembicaran tentang ahlul bid’ah, sebenarnya menarik kita untuk menelaah histori ideologi umat terdahulu, sehingga kita dapat gambaran mereka yang transparan dalam seluruh aspek kehidupan. Seseorang kadang secara tidak sadar, telah terbelenggu dalam atmosfer pemikiran atau karakter mereka. Karenanya, perlu sekali kita menengok sejenak perihal seluk beluk mereka agar tidak terkena getah busuknya. Kiranya, nasehat Khalifah Umar bin Khaththab perlu kita perhatikan. Beliau Radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan: “Aku pelajari kejahatan (keburukan) bukan untuk mengaplikasikannya, namun sebagai perisai diri. Barang siapa yang tidak mengetahui hakikat kejahatan, maka dia akan terjerumus di dalamnya”

Yahudi dan Nashara, dua umat terdahulu, telah membangun peradaban dan menguasai dunia. Sehingga sedikit banyak akan menjadi kiblat umat lain. Rasulullah telah mensiyalir, sebagian umatnya akan mengekor sunnah (gaya hidup) mereka dalam arti yang luas. Rasulullah bersabda: "Kalian benar-benar akan mengikut sunah (gaya hidup) umat sebelum kalian, sehasta demi hasta, sedepa demi sedepa, sampai kalau mereka memasuki lubang Dhob Kadal Gurun) pun, kalian akan mengikutinya. Para shahabat bertanya,” Siapa mereka Ya Rasulullah? Apakah Yahudi dan Nashara? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Siapa lagi kalau (bukan mereka)”

Termasuk karakter ahli bid’ah adalah talaqqi (mengambil/menerima) ilmu dari umat-umat terdahulu. Konsekwensinya, kita perlu membuka tabir jati diri ahli bid’ah, sejauh mana mereka mengadopsi konsep dari luar Islam. Pasalnya, ada benang merah antara golongan-golongan yang ada dalam Islam (Ahlul bid’ah) dengan mereka. Seperti yang disinyalir oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Mari kita lihat sebagian hasil kerja keras ulama dalam membeberkan kedok ahli bidah dalam tasyabuh mereka terhadap Yahudi dan Nashara. Semoga gambaran sekelumit tentang profil Ahli bidah dapat mengarahkan kita untuk lebih intensif dalam menelaah sirah Salafush Shalih. [1]

TASYABBUH FIRQAH AHLI BID’AH DENGAN YAHUDI [2]

KHAWARIJ
1. Firqah Khawarij mengklaim dirinya sebagai ahli syurga, melihat keshalihan dan kesuksesan mereka.. Selain komunitas mereka, hanyalah kumpulan orang-orang kafir. Klaim seperti ini bagian dari ciri khas Yahudi, yang membatasi kebenaran pada lingkaran mereka saja, sedangkan orang yang berseberangan dengan mereka berada di atas lini yang salah. Firman Allah: Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Orang-orang Nasrani tidak mempunyai pegangan" [Al-Baqarah :113].

Dalam ayat lain Allah berfirman: Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. [Al Maidah:18]

2. Khawarij tega memerangi lawan-lawannya yang tidak sepaham dengan pemikiran, aqidah dan ide-ide mereka. Demikian juga Yahudi, berusaha memberangus lawan-lawannya. Allah bercerita tentang mereka: Apakah setiap datang pada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai keinginanmu lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang yang lain kalian bunuh” [Al Baqarah:87]

3. Bertindak ekstrim dalam beragama ,hukum dan vonis (kafir) terhadap individu, salah satu trademark aliran theologi ini. Praktek beragama model ini, produk asli Yahudi. Allah berfirman: “Wahai Ahli Kitab janganlah kalian melampau batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuaIi yang benar..” [An Nisa:171]. Orang-orang Khawarij telah mendahului aturan Allah dalam memvonis banyak orang mukmin sebagai ahli neraka.

4. Khawarij meneladani Yahudi dalam menghalalkan harta para rivalnya. Ibnu Taimiyah menguraikan:” Khawarij, firqah pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, dengan pertimbangan perbuatan dosa atau tidak mengamini produk bid’ah mereka, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.” Beliau menambahkan:” Mereka (Khawarij) jauh lebih jahat terhadap umat Islam dari golongan lain. Tidak seorang pun yang lebih berbahaya terhadap umat Islam dari mereka, tidak pula Yahudi juga Nashara. Mereka begitu semangat untuk membunuhi umat Islam yang tidak sepakat dengan mereka, menghalalkan darah umat Islam dan harta serta pemusnahan terhadap para bocah muslimin, plus pengkafiran mereka. Tindakan itu dilakukan dengan atas nama agama, karena kebodohan yang keterlaluan dan bid’ah mereka yang menyesatkan”.[3]

5. Khawarij memiliki warna qaswah (keras) dan jafa’ (bengis) tanpa toleransi seperti karakter Yahudi. Allah berfirman:” Belumkah datang waktunya, bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras . Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik” [Al Hadid:16]

6. Khawarij memerangi umat Islam, tapi tidak mengusik orang-orang kafir. Ini merupakan hobi Yahudi tempo dulu dan sekarang. Allah berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al Kitab? Mereka percaya pada Jibt dan Thaghut dan mengatakan kepada orng-orang yang kafir (musyrik Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari pada orang-orang yang beriman”. [An Nisa: 51]

Mereka bahkan saling bergandeng-tangan dengan orang-kafir untuk menyikat umat Islam. Ibnu Taimiyah menguraikan: ”Para sahabat dan ulama generasi selanjutnya sepakat (berijma’) untuk memerangi Khawarij. Mereka itu kaum bughat (penentang) yang memusuhi segenap kaum muslimin kecuali orang yang mengamini madzhab mereka. Mereka memancing peperangan dengan kaum muslimin. Kejahatan mereka tidak akan lenyap kecuali dengan jalan peperangan. Mereka lebih berbahaya bagi umat Islam dari para penyamun. Pasalnya, para perampok ambisinya hanya harta-benda. Kalau diberi, mereka tidak akan menyakiti. Dan sebagian orang saja yang dihadang. Adapun Khawarij, mereka memerangi umat agar berpaling dari Al Quran, Sunnah dan ijma’ Sahabat, dan selanjutnya berpartisipasi mendukung produk bid’ah mereka yang berlandaskan di atas takwil yang bathil dan pemahaman yang ngawur tentang Al Quran”.

7. Khawarij mentahrifkan (memelintir ) dalil-dalil dari makna sejatinya, senada dengan sikap Yahudi. Allah berfirman:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami, sedang mereka mengetahui” (Al Baqarah:75). Ibnu Abbas menggambarkan potret Khawarij dengan mengatakan:” Mereka mengimani ayat-ayat muhkam, (sayang) tergelincir pada ayat mutasyabih. Tidak ada yang mengetahui takwilnya (tafsirnya) kecuali Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya mengatakan: ”Kami mengimaninya”[5]

8. Khawarij tekun membaca Al Quran, namun ternyata mereka keluar dari Islam seperti menembusnya anak panah pada sasaran bidikan .. Para pemuka agama dan kaum cendikiawan Yahudi pun sangat mengetahui seluk beluk Taurat. Anehnya, mereka menyimpang dari rel kebenaran menuju jurang kesesatan. Allah berfirman tentang mereka:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami sedang mereka mengetahui” [Al Baqarah:75].

9. Sikap ghurur (silau melihat diri sendiri) dan congkak terhadap ulama sekalipun, sangat melekat pada jati diri Khawarij. Mereka meyakini bahwa kapasitas ilmiyah mereka melebihi Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan segenap shahabat lainnya.[6]

Berkaitan dengan ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Akar kesesatan Khawarij, mereka meyakini bahwa para Imam (tokoh Islam, Ulama) dan kaum muslimin telah menanggalkan semangat keadilan dan sesat jalan.” [7]

Takabur terhadap orang lain bahkan kepada sosok yang lebih baik merupakan tabiat yang selalu tersemat pada Yahudi [8]. Allah berfirman:” Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Al Kitab (Taurat) kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga” [Al Baqarah:78].

Sikap kelompok ini sangat kontras dengan budaya Salafus Shalih yang mendudukkan para ulama pada posisi yang tinggi. Sufyan bin ‘Uyainah menasehati: ”Rahmat Allah turun saat disebut orang-orang shalih.[9]

10. Khawarij populer dengan kelabilan pendirian dan perbedaan pandangan internal. Akibatnya, banyak terjadi percikan api perselisihan dan perpecahan di tubuh mereka seperti kondisi Yahudi yang telah dilukiskan Al Quran. Allah berfirman:”Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). [Al Baqarah:101]

Firman Allah: “Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan ) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas mereka itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik..” [Al Baqarah:59]

Juga firman Allah: “Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian niscaya kalian tergolong orang-orang yang merugi.” (Al Baqarah:64) Dan firman-Nya:”Apakah kalian beriman kepada sebagian Al Kitab dan mengingkari bagian yang lain”.[Al Baqarah : 85]

11. Firqah ini mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa saja terjerumus pada kesalahan, kezhaliman dan kesesatan. Yahudi sebagai panutan mereka, juga sangat nekat terhadap para Rasul dan Nabi, dengan memvonis sesat , memfasikkan dan membunuhi insan-insan terpilih tersebut. Allah berfirman:”Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran ) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh; maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh.” [Al Baqarah:87]

Dan firman-Nya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah, mereka berkata,”Kami hanya beriman kepada apa yang yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah:”Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman” [Al Baqarah : 91]

SYIAH
1. Pertautan (tasyabuh) antara Syiah dan Yahudi begitu tampak pada aspek sebab kemunculan Syiah dan pencetusnya. Adalah Abdullah bin Saba, sosok yahudi tulen yang mempropagandakan pemikirannya melalui berbagai keonaran agar laku di pasaran muslimin. Seperti keyakinan adanya raj’ah (reinkarnasi) dan wasiat Rasul untuk Ali. Gagasan-gagasan seperti ini tak pelak lagi, berakar dari aqidah Yahudi.[10]

2 Syiah meyakini adanya keserupaan antara Al Khaliq (Pencipta) dengan makhluk-Nya. Keyakinan ini juga sebelumnya ada pada Yahudi yang kenekadannya menghantarkan mereka melontarkan ucapan bahwa Allah sarat dengan naqaish (kekurangan/aib. Allah berfirman: “Orang-orang Yahudi berkata:” Tangan Allah terbelenggu” .(Ali Imran : 64). Juga firman-Nya: “ Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnyaa Allah itu miskin, sedangkan kita kaya-raya” [Ali Imran: 181].

Ucapan-ucapan serupa, mudah kita dapati dalam banyak Israiliyat. [11]

3. Agama yang bersentral di Iran ini, menegaskan bahwa api neraka tidak akan menyentuh mereka kecuali sebentar saja.. Ini juga yang dibanggakan Yahudi. Allah berfirman:”Mereka mengaku:”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali sebentar saja” [Ali Imran:24]

Bahkan bukan hanya sampai di sini saja, mereka juga mengkafirkan para lawan-lawannya dan memvonis mereka sebagai penghuni neraka.“. Ibnu Taimiyah mengungkapkan:” Dan yang lebih mengerikan lagi, orang-orang yang mengkafirkan dan menganggap kaum muslimin najis layaknya orang kafir , seperti yang terjadi pada kebanyakan ahli bidah dari kalangan Rafidhah (Syiah), Khawarij dan lain-lain…Karakter seperti ini kerap mewarnai kelompok yang latah (meniru ) Yahudi. [12]

4. Syiah juga meyakini adanya tanasukh (perpindahan roh) sebagaimana yang diyakini oleh Yahudi. Mereka menetapkannya pada tulisan-tulisan mereka.

5. Para pemeluk ideology ini sangat berlebihan dalam mengagungkan dan menghormati para pemuka agama (imam) mereka. Demikian pula Yahudi. Para nabi dan ulamanya mendapatkan penghormatan yang tidak terukur dari umat. Allah berfirman:”Orang-orang yahudi berkata:”Uzair putra Allah”, dan orang nasrani berkata:”Al Masih putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang dahulu. Allah melaknati mereka ,bagaimana mereka bisa berpaling. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allah” [At Taubah:30-31]

Juga firman-Nya:”Wahai Ahli kitab janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” [An Nisa:171]

6. Syiah, sebuah firqah yang paling menggandrungi dusta. Mereka memproduksi banyak hadits-hadits palsu dengan mencatut nama besar Rasulullah. Yahudi sebagai nenek moyang mereka, juga melakukan hal yang sama melalui kisah Israiliyat yang dusta.

7. Salah satu doktrin mereka, orang Syiah harus masuk syurga karena besarnya mahabbah (kecintaan) mereka terhadap Ali dan para Imam. Rahasianya, hakikat iman menurut versi mereka adalah mempercayai (mengimani) dan mencintai para imam mereka.. Sandaran mereka firman Allah: Katakanlah hai orang-orang mukmin, Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak-cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada yang kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)” [Al-Baqarah:136-137]

Mereka memlintir makna ayat tersebut dengan iman kepada para imam. Sebab itulah, mereka mengklaim:”Sesungguhnya iman tidak memudar dengan sayyiah (dosa), sebaliknya, kekufuran mementahkan segala kebaikan (hasanah). Iman yang sejati tercermin pada kecintaan dan pengenalan terhadap para Imam. [13]

Jadi, kecintaan yang palsu itu mereka jadikan tangga untuk menggapai syurga. Artinya, hunian syurga telah mereka kuasai dengan seenak perutnya sendiri.. Omongan ini tidak berbeda dengan lontaran orang-orang Yahudi. Allah berfirman tentang ucapan mereka:” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” [Al Maidah:18].

8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menguraikan sebagian kesesatan dan tasyabbuh mereka terhadap Yahudi. Ungkap beliau rahimahullah:” Indikasinya, keonaran Syiah itu menyerupai perbuatan Yahudi. Yahudi berkata:” Kekuasaan tidak layak kecuali hanya untuk keturunan Daud. Syiah sendiri mengatakan:”Imamah (kekhalifahan) tidak layak kecuali pada keturunan Ali saja”.

Yahudi menyatakan:”Tidak ada jihad sampai munculnya masih dajjal dan turun sebilah pedang dari langit”. Di satu sisi Syiah menegaskan :”Tidak berlaku jihad sampai kedatangan Al Mahdi dan terdengarnya suara panggilan dari langit. Yahudi mengakhirkan shalat , demikain juga kebiasaan Syiah. Praktek sisi kehidupan yang lain, Yahudi menghapuskan masa iddah bagi wanita dan mengtahrif kitab sucinya, juga berpendapat bahwa shalat wajib berjumlah 50 waktu, tidak mengucapkan salam kepada kaum muslimin,. menghalalkan harta seluruh umat manusia. Semua ini diadopi dengan cantik oleh Syiah. Tidak ketinggalan pula . Yahudi memusuhi sekali Malaikat Jibril seperti kebencian Syiah terhadap malaikat yang sama karena dianggap salah dalam mentransfer wahyu kepada Rasulullah”.[14]

QADARIAH MU'TAZILAH.
1. Ja’d bin Dirham orang yang pertama kali melontarkan pendapat yang menafikan (menelanjangi) Allah dari segala sifat-Nya., Allah tidak berada di atas Arsy, makna istiwa adalah isti’la’ (mengusai), Allah tidak berbicara. Orang tersebut adalah pembina Jahm bin Shafwan, pendiri firqah Jahmiyyah yang memiliki keyakinan bahwa Allah ada di semua tempat dengan dzat-Nya. Aqidah yang sesat ini mengakar dari sosok Yahudi yang bernama Labid bin Al A’sham, orang yang pernah mengguna-gunai Rasulullah. [15]

2. Bisy Al Mirrisi, salah satu pentolan Mu”tazilah, sejatinya seorang yahudi yang bersembunyi dengan topeng Mu”tazilah. [16]

3. Qadariah menafikan sifat al khalqu (penciptaan) dan iradah (kehendak) dari Allah . Ini sama dengan tingkah Yahudi yang mengatakan kebaikan dan kejahatan diluar jangkauan takdir Allah.[17]

4. Hudzailiyah, salah satu firqah bagian dari Qadariah menyatakan Allah tidak berbeda dengan makhluk-Nya,, penghuni syurga tidak punya daya untuk bergerak dan Allah juga tidak mampu untuk menggerakkan mereka. Mereka hanya akan menjadi gundukan barang beku yang tak bernyawa. Pernyataan ini juga menjadi keseharian pembicaraan orang Yahudi [18]

5. Mu’tazilah memerangi orang-orang yang tidak seirama dengan cara pandang mereka seperti halnya Yahudi

6. Mu'tazilah juga mentahrifkan Al Quran seperti halnya sikap Yahudi terhadap kitab suci mereka.

7. Mu’tazilah menyerupakan iradah Allah dengan iradah makhluk-Nya, kalam-Nya dengan ucapan makhluk seperti kelakuan Yahudi

8. Qadariyah termasuk aliran yang menafikan (ta’thil) sifat-sifat Allah dari dzat Allah. Aqidah ini muncu dari keyakinan persamaan Khalik (Pencipta) dengan ciptaan-Nya Ibnu Taimiyah mendudukkan: Dasar para penghapus sifat Allah baik dari kalangan Jahmiyyah maupun Qadariyyah, image mereka yang menyifati Allah dengan sifat yang berada pada orang lain.

MURJIAH
1. Para pengikut murjiah yang ekstrim mengatakan ”iman tidak akan terkikis oleh maksiat, sebagaimana ketaatan tidak akan bermanfaat di hadapan kekufuran” Sebab itu, mereka sangat meremehkan arti dosa dan maksiat. Yahudi pun demikian, mereka melanggar berbagai kemungkaran dan dosa dengan ringan tanpa beban. Allah berfirman: ” Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu”. [Al Maidah:62]

Juga dalam ayat yang lain: ”Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”. [Al Maidah:78]

2. Karamiah, sebuah sempalan dari Murjiah telah memalsukan banyak hadits seperti yang dilakukan Yahudi. Ditambah lagi, tokoh-tokoh kelompok ini juga mensosialisasikan aqidah tajsim (pembendaan) Tuhan seperti yang dilakukan Yahudi. [19]

3. Murjiah sangat menonjolkan aspek raja’ (pengharapan) dalam beribadah dengan mengesampingakan aspek khauf (rasa takut, kuatir ) . Sikap pengharapan yang berlebihan ini membawa mereka menjadi sangat optimis menjadi penghuni syurga. Model seperti ini juga diklaim oleh Yahudi. Allah berfirman:” “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya” [Al Maidah:18].

Juga firman-Nya: ”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung”. [Ali Imran:24]

4. Murjiah juga mendaulatkan diri sebagai makhluk yang paling berkelas di sisi Allah disebabkan anggapan mereka, kadar keimanan stabil, tidak bertambah juga tidak mengempis. Menurut mereka, derajat keimanan kaum mukminin berada dalam level yang sama. Pendeknya, keimanan mereka satu kelas dengan kualitas keimanan para rasul dan malaikat . Jadi, mereka menyerupai perilaku Yahudi yang menganggap diri sebagai makhluk termulia. Firman Allah:” :” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.. Katakanlah: Mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian” [Al Maidah:18].

JAHMIAH
1. Satu dari pendapat Jahmiah yang paling berbahaya adalah pemikiran Jabriah yang mengatakan bahwa manusia tidak punya kehendak sama sekali, bagai sebuah bulu yang diombang-ambingkan oleh tiupan angin. Ini juga kepercayaan Yahudi dulu dan sekarang. Beberapa ideologi modern seperti komunis juga menafikan keberadaan kehendak (iradah) dari manusia. [21]

2. Jahmiah berdalih dengan suratan takdir, atas kesesatan dan penyimpangan yang mereka lakukan.. Kata mereka:” Allah telah mengunci hati kami sehingga cahaya hidayah tidak bisa menembus relungnya.” Ini merupakan alasan kaum musyrikin dan ahli kitab , Yahudi dan Nashara yang tidak mau menerima kebenaran. Allah berfirman tentang mereka: ”Hati-hati kami terkunci” [An Nisa’:155]

Maksudnya, tidak bisa memahami dan menangkapnya. Allah berfirman: Oraang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: Jika Allah menghendaki , niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatupun.”. Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami…” [Al-An’am:148].

Umat sebelum mereka adalah Yahudi dan Nashara. Jadi, Jahmiah menabrakkan syariat Allah dengan takdir. Akibatnya mereka mencampakkan syiar amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sehingga mereka terjebak dalam tasyabuh terhadap Yahudi. Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Muara dari tindak-tanduk mereka menuju ta’thil (penghapusan) syariat dan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar.[22]

3. Ta’thil,salah satu inti ajaran Jahmiah diadopsi dari Yahudi

4. Jahmiah mengatakan Alquran itu makhluk sehingga menyamakan Pencipta dengan makhluknya seperti ulah Yahudi.

TASYABBUH AHLU BID’AH DENGAN NASHARA

Firqah-firqah yang menyimpang dari garis al haq juga telah banyak mengadopsi sebagian prinsip alirannya dari ajaran agama Nashara. Oleh karena itu terjadi beberapa kesamaan antara mereka dengan agama nashara. Penjelasannya sebagai berikut:

SYI’AH
1. Syi’ah mengatakan bahwa ajaran agama di tangan para imam. Secara penuh [23], label halal ataupun haram merupakan hak prerogatif para imam. Jadi agama tidak lain adalah produk mereka. Perlakuan seperti ini merupakan sikap kaum Nashara terhadap para pemuka agama mereka. Allah berfirman, yang artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al Masih Ibnu Maryam. [At Taubah:31].

Rasulullah bersabda : Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan seperti penghormatan Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ”(Muhammad) seorang hamba Allah dan utusanNya.” [HR Bukhari, Kitab Al Anbiya, Bab Qauliallah (6/365)]

2. Kuburan para wali dan orang shalih berubah menjadi tempat peribadahan selain kepada Allah. Ini berangkat dari keyakinan bahwa para imam mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, menghidupkan orang mati, dan perkara lain yang berkaitan dengan rububiyyah. Orang-orang Nashara pun sebelummya juga melakukan hal yang sama. Rasul bersabda: Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarangnya.[HR Muslim, Kitabul Masajid, Bab Nahyu ‘An Binail Masajid ‘Alal Kubur (5/13)]

3. Syi’ah menyembah dan mempertuhankan Ali. Kaum Nashara juga demikian, yaitu mengkultuskan Nabi ‘Isa sampai pada maqam Uluhiyah.[Ar Raddu ‘Ala Rafidhah, hlm. 46]

4. Pemeluk Syi’ah tetap menyetubuhi wanitanya melalui dubur walau dalam keadaan menstruasi seperti orang-orang Nashara.[Minhajus Sunnah (1/72)]

5. Syi’ah menafsirkan kalimatullah dalam ayat "Tidak ada perubahan pada kalimat-kalimat Allah" (Yunus: 64) dengan para imam mereka [24]. Nashara juga mengangkat Nabi ‘Isa sebagai kalimatullah. Padahal, maksud dari kalimatullah di situ, bahwa perumpamaan penciptaan Nabi Isa itu seperti pada diri penciptaan Nabi Adam yaitu dari tanah dengan “Kun”. Jadi, sebenarnya Isa juga bagian dari makhluk Allah dengan kalimatNya. Dengan ini, menjadi jelaslah dalam masalah ini bahwa Syi’ah mengikuti Nashara.

AL QADARIYAH MU'TAZILAH
1. Kepercayaan mereka bahwa seorang hamba memiliki hak mutlak untuk bertindak karena dialah pencipta perbuatannya. Teori ini, mereka ambil dari semangat kebebasan yang diprogramkan agama Nashara. Bahkan seperti yang kita ketahui, bahwa pencetus ide pengingkaran terhadap taqdir adalah seorang Nasrani bernama Sosan.[Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 4-15]

2. Firqah ini tumbuh dan berkembang di atas pemikiran filsafat Kristen dan Yahudi. Kronologisnya, ketika Khalifah Al Makmun mengambil perjanjian dengan kaum Nashara, beliau meminta referensi-referensi buku Yunani dari mereka. Orang Nashara tahu dan cerdik dengan mengiriman buku-buku tersebut, karena mereka yakin bahwa kandungan ilmunya akan memporak-porandakan keyakinan kaum muslimin atau memicu perbedaan di kalangan para ulama. Mu’tazilah pun mempersenjatai diri dengan ilmu manthiq dan ilmu kalam, mengikuti para leluhur mereka Yahudi dan Nashara, dengan mencampakkan Sunnah Nabi mereka.[Ashawaiq Mursalah (1/230)]

3. Nidhamiyah, salah satu sempalan dari Qadariyah mempunyai doktrin bahwa tuhan dan pencipta itu ada dua. Yang lama yaitu Allah dan yang baru yaitu Isa Al Masih. Jadi, menurut mereka, Nabi Isa memiliki kekuasaan rububiyah. Perkataan ini tidak berbeda dengan ucapan dan keyakinan kaum Nashara yang menuhankan Isa Al Masih dan yang akan mengambil alih hisab amalan manusia di akhirat kelak. Mereka menafsiran : “Dan datanglah Tuhanmu dan para malaikat berbaris-baris" [Al Fajr:22]

Menurut mereka, Tuhanmu dalam ayat tersebut adalah Nabi Nabi Isa Al Masih. Hadits Nabi tentang ru’yatullah juga mereka tarik kesimpulan sebagai Isa Al Masih. [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab Itsbat Rukyatul Mukminin Fil Akhirat Lirabbahum Subhanah (3/17)]

MURJI’AH
1. Para tokoh besar Murji’ah mengeluarkan statemen bahwa tidak ada satu pun dari Ahlul Qiblah yang terjerumus ke neraka, meskipun bermandikan dosa besar. Nashara, panutan mereka, sebelumnya juga mengklaim demikian. Allah berfirman, yang artinya: Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata,”Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi dan Nashara.” [Al Baqarah : 111]

2. Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua di antara firqoh yang menerima arus pemikiran Murji’ah, sudah biasa melakukan tawasul dengan kuburan dan tempat-tempat keramat, seraya membumbuinya dengan aktivitas yang terlarang. Misalnya dengan berdo’a, sujud bernadzar dan berkurban selain untuk Allah. Pun ditambah dengan acara istighatsah atau isti’anah (minta pertolongan) kepada para wali yang masih hidup ataupun yang sudah terkubur ketika kehidupan mereka terjepit dengan kesengsaraan dan kesulitan. Tidak lupa mereka membangun masjid di atas pemakaman. Sehinga mereka terjebak meniru kaum Nashara.

3. Orang sufi dari kalangan Asy’ariyah meyakini sekian banyak doktrin agama Nasrani, seperti wihdatul wujud, wilayah dan ‘ishmah (dua hal yang berkaitan dengan kewalian dan keterpeliharan mereka dari dosa). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa motivasi kunjungan mereka ke pemakaman adalah memohon pertolongan dari ahli kubur. Ibnu Taimiyah berkata: ”Mereka itu, kalau mengerjakan shalat wajib di rumah, hati mereka melayang, lalai. Membaca Al Quran tanpa penghayatan dan khusyu’. Namun kalau sedang mengunjungi kuburan orang yang di (dihormati), begitu mudah khusyu; dan menangis, pasrah dan tunduk.” [Al Istighatsah Fi Raddi ‘Alal Bakri (1/330-333]

JAHMIYAH
Jahmiyah dan arus pemikirannya bertumpu pada ajaran Nashara. Seperti yang diuraikan Imam Ahmad ketika Jahm, pendiri firqah Jahmiyah bertemu dengan suku Sumaniyah. Dan menjadikan pemikiran mereka yang nota bene beragama Nashara, sebagai pijakan jalan pikirannya dan menyebarkannya kepada orang lain. [Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah Wa Zanadiqah, hlm. 26-28]

Demikian paparan ringkas perihal hubungan “emosional” yang terjalin antara ahli bid’ah dengan dua agama sebelumnya yang sudah banyak diamandemen oleh para tokoh agamanya. Seorang muslim hendaknya berdiri dengan izzah yang kokoh, bangga dengan nilai-nilai yang ada dalam agamanya, tidak perlu menoleh ke kanan kiri untuk mengais tambahan, yang sebenarnya akan menjadi blunder bagi dirinya di dunia akhirat. Dalam sebuah hadits, Nabi mewanti-wanti: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia merupakan bagian dari kaum tersebut” Wallahu a’lam.

(Tulisan ini merupakan terjemahan bebas Muhammad ‘Ashim, yang diangkat dari kitab Tanaqudhu Ahlil Ahwa` Wa Bida', karya Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad bin Mukhtar, Dosen Fakultas Tarbiyah Putri di Riyadh. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah Ar Rusyd, Cetakan I, Tahun 1421H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Pengantar dari penerjemah.
[2]. Terjemahan bebas dari kitab Tanaqudhu Ahlil Bida’I Wal Ahwa karya DR. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad bin Mukhtar, Dosen Fakultas Tarbiyah 4 Putri di Riyadh. Penerbit Maktabah ar Rusyd cet. I tahun 1421H
[3]. Daru Ta’arudl 7/138-139, Minhajus Sunnah 5/248
[4]. Minhaju Sunnah5/243-244
[5]. Asy Syariah 27-28
[6]. Fatawa 13/21-30
[7]. Fatawa 28/497
[8]. AlKhawarij Awwalu Firaq Fi Tarikh Islam Dr.Al Aql: 38
[9]. Tartibul Madarik Qhadhi ‘Iyadh 1/23
[10]. Al Maqalat Wal Firaq, Al Qummy 20
[11]. Al Fatawa 10/55, Minhajus Sunnah 1/22-34
[12]. Al Jawabus Shahih 2/8
[13]. Ushul Kafi 2/463 (kitab Syiah)
[14]. Minhajus Sunnah dengan ringkas 1/24-27
[15]. Al Bidayah Wan Nihayah 10:19, Fatawa 8:228, Khalqu af’alil ibad :8
[16]. Siyar a’lamun Nubala:10:542
[17]. Al Milal Wa Nihal 1/212-225, Al Farqu Bainal Firaq 79,Syarah Ushulil Khamsah 323
[18]. Al Farqu Bainal Firaq 85-93, Nuniah Ibnul Qayyim ma”asyaarhihi 1/35-37
[19]. Al Farqu Bainal Firaq 161-172
[20]. Ushulud Din AlBaghdadi 268
[21]. Seperti Marxisme. Lihat Akhthar Al Manhaj Al Gharrby Al Wafid, Anwar Jundi hal:405-407
[22]. Fatawa 8/256
[23]. Kaum ekstrim dari Syi’ah, seperti Ismailiyah sudah sampai pada taraf menuhankan para imam mereka dan menganggap syari’at Nabi Muhammad telah diganti dengan ajaran Muhammad bin Ismail. Banyak ucapan mereka yang kotor. Sehingga pantas kalau mereka disebut lebih jahat dari Yahudi, Nashara dan kaum musyrikin. Lihat Minhajus Sunnah (1/173-175,177).
[24]. Al Jawabush Shahih (3/97,126)